Segala puji bagi
Alloh, shalawat serta salam semoga tercurah atas Rasululloh , istri, keluarga ,
shahabat serta seluruh umatnya hingga akhir zaman.Amma ba’du
Berikut ini adalah terjemah makalah berjudul “ Maudhi’ul
qodamain fysholaat ” yang ditulis oleh DR.Ahmad Muhammad Nur Saif, Mudir
Aam Darul Buhuts dan Ketua Majlis Wakaf dan Urusan Keislaman Dubai .
Masjid adalah jantung bagi umat yang menyebarkan ilmu dan
iman ke seluruh jasad.Maka kami berpandangan adalah sangat penting untuk
membahas ilmu yang amaliyah dan amal yang ilmiyah dari pusat tubuh ini.Termasuk
diantaranya adalah masalah menempelkan kaki dalam sholat jamaah.Ia adalah
perkara yang mubah, tidak diperintahkan ( wajib / sunnah ), tidak pula dilarang
( haram / makruh ).Sehingga semestinya tidak menjadi hal kontroversial yang
memecah shaf persatuan kaum muslimin.
Kami terjemahkan agar menjadi manfaat bagi kami dan seluruh
kaum muslimin baik di dunia maupun akhirat.Amin.
Abdul Hakim bin Muhammad bin Mukhlish bin AbdulQadir bin
AbdulGhony AlJawy.
بسم الله الرحمن الرحيم
Telah banyak diskusi tentang cara berdiri seorang yang
sholat, dan apa yang dituntut dalam meluruskan shaf dan menegakkannya.Dan
keinginan baik sebagian orang yang ingin menunaikan ibadah ini telah
menyibukkan manusia.Di antaranya adalah masalah cara memposisikan kedua kaki
ketika meluruskan shaf.Dan telah ditulis banyak pembahasan mengenai hal ini,
ada yang menguatkan , ada yang menolak ada pula yang mengoreksi.
Dan saya ingin menjelaskan kedudukan sunnah taqririyah
ini dari sisi hukum taklify, dan bahwa sunnah taqririyah tidak
berada pada satu tingkat saja dalam kekuatan hujjah.
Karena kedudukan
sholat yang penting serta memiliki banyak pembahasan hukum dalam agama ini, banyak ayat-ayat AlQuran dan
Hadits Nabawy yang memberikan perhatian khusus dalam setiap hal yang berkaitan
dengannya, baik hukum maupun adab-adab, serta pahala besar yang akan didapat
seorang hamba darinya, dan banyak kebaikan baik di dunia maupun di akhirat,
sehingga menghantarkan seorang hamba ke surga yang luasnya seluas langit dan
bumi.
﴿ سلام عليكم بما صبرتم ج فنعم عقبى الدار ﴾
Artinya : (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum
bima shabartum"[ keselamatan atasmu berkat kesabaranmu]. Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu.( QS.Arra’du : 24 ).
Karena itulah, termasuk keistimewaan umat ini yang umat
lain menjadi iri karenanya adalah Alloh menjadikan shaf mereka dalam shalat
seperti shaf para malaikat, makhluq ruhany yang ;
﴿ لا يعصون الله ما أمرهم و يفعلون ما يؤمرون ﴾
Artinya : tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan
(QS.Attahrim : 6).
Umat yang terdahulu tidak diberi kekhususan ini, sebagai
bentuk kemuliaan bagi Naby mereka alaihissholatu wassalam.
Karena Naby kita alaihisholatu wassalam menyadari
besarnya karunia ini, sedang beliau adalah seorang yang telah dijadikan
memiliki semangat yang besar untuk memberi manfaat bagi umat ini, dan
menyampaikan kebaikan kepadanya selama beliau mampu, dan karena beliau adalah
seorang yang ;
﴿ عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رؤوف رحيم ﴾
Artinya : berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang
terhadap orang-orang mukmin ( QS.Taubah ; 128 )
Maka beliau mengingatkan umatnya tentang pentingnya
memperhatikan saat berdiri menghadap Alloh Ta’ala, dalam menjaga adab
penampilan maupun ucapan, dan wajibnya kesesuaian antara keduanya sehingga
menimbulkan keseriusan dalam
menghadap-Nya, serta keserasian penampilan atau keadaan dengan
penghayatan ucapan.Maka hati dengan lisan dan anggota badan dengan akal serta
hati berharmoni dalam menunaikan dan menghayati sholat.Beliau alaihisholatu
wassalam bersabda ;
لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ
بَيْنَ وُجُوهِكُمْ
Artinya ; bersungguh-sungguhlah kalian meluruskan
shaf-shaf kalian atau Alloh memperselisihkan antara wajah-wajah kalian (
HSR.Bukhary).
Maka kesamaan dan kesesuaian ,keteraturan serta kerapihan
dalam bentuk adalah bukti perhatian tersebut.Sebagaimana kekacauan dan
kesemrawutan dan tidak rapi serta tak teratur adalah tanda berpalingnya hati
dan sibuknya hati dengan selain sholat, bahkan ketidaksadarannya.Sebagaimana
tidak diperkenankan perangai ini dalam perkara dunia yaitu perselisihan dan
kesemrawutan, dan dianggap cacat dan fenomena tak acuh dan tak peduli, maka
syariat juga mengajak interaksi terhadap akal yang selamat dan fithrah
yang berhikmah untuk memperhatikan hal
tersebut dan mementingkannya dalam rangka mewujudkan kesuksesan seorang hamba
dalam urusan dien dan dunia.
Maka dalam upaya Naby shollallohu alaihi wasallam
mewujudkan hal itu, beliau sendiri yang mengatur hal itu dengan tangan beliau
yang mulia, beliau meratakan antara dada dan pundak/bahu jamaah.Sebagaimana
dalam shahih ibnu khuzaimah ;
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يأتينا إذا قمنا إلى الصلاة فيمسح عواتقنا
و صدورنا و يقول : لا تختلف صدوركم فتختلف قلوبكم (صحيح ابن خزيمة - (3 / 24))
Artinya ; Adalah Rasululloh shollallohu alaihi wasallam
mendekati kami jika telah berdiri hendak sholat lalu beliau memegang pundak dan
dada kami seraya bersabda ; janganlah berselisih dada-dada kalian sehingga
menjadi berselisih hati-hati kalian ( shahih ibnu khuzaimah ).
Sampai ketika para shahabat telah memahami perintah untuk
menegakkan shaf dan tidak bengkok dan semrawut, beliau meninggalkan hal
tersebut.Dan dengan itu, berarti beliau telah mengingatkan mereka dengan ucapan
serta membimbing dengan tindakan kepada hal tersebut.Para shahabat ridhwanulloh
alaihim , telah memahami apa yang dikehendaki oleh beliau shollallohu
alaihi wasallam, bahwa hati harus senantiasa serasi dengan bentuk.Sehingga
apa yang beliau shollallohu alaihi
wasallam perintahkan untuk mewujudkannya adalah beberapa perkara ;
1.samanya shaf-shaf dan lurus serta tidak bengkok.
2.ratanya shaf dan tidak kacau,dimana sebagian ada yang
lebih maju dari yang lain, atau lebih mundur, sehingga mengakibatkan tidak
ratanya kaki dan bahu.
3.saling berdekatannya orang yang sholat dalam satu shaf,
serta tidak meninggalkan jarak, sehingga bahu saling meratakan, kaki saling
berdekatan untuk menutup celah yang akan digunakan oleh syaithon sebagai sarana
merusak sholat serta menggangu mereka serta menyebarkan bibit perselisihan
antara mereka.
4.tidak terlalu mundur dari shaf –shaf depan, serta
membiarkan jarak padanya.
Pembuat syariat ( Naby shollallohu alaihi wasallam) hanya
mencukupkan demikian, baik berupa ucapan, perbuatan maupun bimbingan, untuk
mewujudkan tujuan yang diinginkan oleh pembuat syariat dalam masalah meluruskan
shaf dan menegakkannya, serta menutup celah padanya,karena itu sudah cukup
untuk mewujudkan perintah.
Adapun yang dilakukan sebagian shahabat setelah itu, dari
mubalaghah atau bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah Pembuat
Syariat ( dengan saling menempelkan kaki- pent), maka hal tersebut tidak
bermudharat.Walau pun itu bukan perkara yang diperintahkan atau dianjurkan,
karena asal perintah (yaitu merapatkan dan meluruskan- pent) telah
dijalankan.Adapun yang lebih dari perintah itu berupa ijtihad seorang mukallaf
untuk menjalankannya, jika tidak merusak asal perintah, maka Pembuat
syariat –dalam banyak kasus- mentaqrir/menyetujui perbuatan itu.Karena ia
adalah ijtihad yang melebihi perintah yang tidak merusak asal perintah, bahkan
mencerminkan sangat bersemangat dalam melaksanakannya.
Inilah yang dijadikan judul oleh AlBukhary rahimahullah
dalam shahihnya :
( باب إلزاق المنكب بالمنكب، والقدم بالقدم في الصف )
(
Bab ; Menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki dalam shaf )
Beliau membawakan ;
قال النعمان بن بشير : رأيت الرجل منا يلزق كعبه بكعب صاحبه. و عن أنس عن
النبي صلى الله عليه و سلم قال (( أقيموا صفوفكم، فإني أراكم من وراء ))
Berkata Nu’man bin Basyir : aku melihat seorang laki-laki
dari kami menempelkan matakaki dengan matakaki temannya. Dari Anas dari Naby
shollallohu alihi wasallam : (( Tegakkanlah shaf-shaf kalian , sesungguhnya aku
dapat melihat kalian dari belakang )).
Seorang yang berinstinbath dari dalalah nash
akan mengambil kesimpulan :
-
Hal itu ( menempelkan ) adalah perbuatan sebagian shahabat yang disetujui/didiamkan/tidak
diingkari oleh Naby shollalohu alaihi wasallam , maka ia adalah Sunnah
Taqririyah.
-
Taqrir dapat dipahami dari ucapan Anas : (( dan seorang
dari kami menempelkan bahunya... )), yang hal ini mengindikasikan bahwa Naby
shollallohu alaihi wasallam mengetahuinya, dilakukan di zaman beliau.Yang lebih
memperkuat indikasi tersebut adalah ucapan Naby shollallohu alaihi wasallam :
(( tegakkanlah shaf-shaf kalian, karena aku dapat melihat kalian dari belakang
punggungku )).Hal ini untuk mengangkat khilaf dalam masalah apakah termasuk
yang disandarkan pada zaman beliau shollallohu alaihi wasallam atau tidak, dan
mengangkat probabilitas bahwa hal tersebut mauquf atau tidak, serta apa
yang menjadi ekses darinya dalam kaidah bolehkah mengakhirkan penjelasan saat
dibutuhkan atau tidak.
-
Bahwa itu ( menempelkan ) adalah termasuk dalam
menegakkan shaf atau meratakannya dan ia merupakan bagian kesempurnaan atau
menegakkan shalat.
Perbuatan yang dilakukan oleh shahabat ini ( menempelkan
) yang terjadi di hadapan Naby shollallohu alaihi wasallam atau di masanya,
adalah terjadi sebagai bentuk ijtihad, termasuk hal yang dapat menjadi
dasar hukum atau tambahan / ziyadah terhadap hukum berupa perbuatan atau
ucapan.Ia masuk dalam bab (( taqrir )), dan ia merupakan bagian dari
sunnah, yang berbeda-beda keadaan dan hukumnya dalam tinjauan bisa sunnah
wajibah atau mandubah atau mukhayyar ( mubah ) atau
tidak menghasilkan taqrir samasekali, sehingga tidak menjadi dasar hukum dimana
hukum tersebut dapat untuk diqiyaskan dengannya yang lainnya, atau
digantikan dengan perbuatan yang lain ataukah menghasilkan khabar saja atau
menyesuaikan keadaan.
Hal ini tidak dapat ditinjau dari satu parameter saja,
namun perlu tafshil dan contoh berikut ini :
Apakah taqrir dari Naby shollalohu alaihi wasallam
terhadap perbuatan yang dilakukan shahabat dapat dikategorikan sunnah yang
seorang mukallaf dituntut
melaksanakannya baik sebagai wajib atau sunnah atau mubah ?
Bertingkat-tingkat hukum yang berasal dari taqrir Naby
shollallohu alaihi wasallam atas perbuatan shahabat , ada yang wajib, sunnah
atau mubah.
1.Beberapa
contoh perbuatan yang mendapat taqrir Naby shollallohu alaihi wasallam lalu
menghasilkan hukum wajib ,
Di antaranya :
a.Keharaman
wanita yang dilaknat ( mula’anah) atas suaminya, dengan keharaman yang muabbad
( selamanya ).Ini diistinbath dari ucapan shahaby setelah melaknat ((
sungguh aku berdusta Wahai Rasululloh jika aku tetap hidup bersamanya )), maka
ia menceraikan dengan talak tiga sebelum diperintahkan oleh Rasululloh
shollallohu alaihi wasallam.Berkata Ibnu syihab : Maka jadilah hal itu sebagai
sunnah ( yang wajib – pent) bagi suami istri yang saling melaknat (li’aan)(
riwayat Bukhary)
b.Demikian pula
ide Abu bakar Ashidieq radhiyallohu anhu bahwa yang lebih berhak mendapat salb ( harta yang
menempel di tubuh mayat musyrik ), adalah pembunuhnya daripada yang bertempur
namun tidak membunuhnya.Saat Naby shollallohu alaihi wasallam bersabda setelah
usai dari perang : (( barangsiapa membunuh musyrik dan memiliki bukti maka ia
berhak atas salb mayat itu)).Maka
berdirilah Abu Qatadah membawa persaksian orang yang melihatnya membunuh kafir
dan meminta salb -nya.Lalu orang yang telah mengambil harta kafir
tersebut juga menuntut dan meminta ridha dari Naby shollalllohu alaihi
wasallam, kemudian Abu Bakr ashidieq mengingkarinya dari memutuskan bahwa ia
hanya untuk pembunuhnya.Maka Naby shollallohu alaihi wasallam bersabda : shodaqo
/ benar ( Riwayat bukhary ).
c.Demikian pula
perbuatan Muadz bin jabal dalam shalat masbuq dimana ia mengikuti imam kemudian
menambah yang kurang.Dan ucapan naby shollalohu alaihi wasallam mentaqrir
perbuatannya :
((
قد سن لكم معاذ فهكذا فاصنعوا )) رواه أحمد
Artinya ; Muadz
telah membuat sunnah ( mencontohkan ) untuk kalian, maka demikian pula kalian
lakukan (HR. Ahmad )
Dan dengan itu
berjalanlah sebuah sunnah lazimah / wajibah dalam cara masbuq mengganti
apa yang tertinggal dalam shalat.
d.Demikian pula ijtihad Aly radhiyallohu anhu dalam kasus
sekelompok orang yang berhubungan dengan perempuan dalam masa suci lalu mereka
ragu tentang siapa yang berhak atas anak yang dikandung.Maka ia mengundi di
antara mereka, dan mewajibkan yang keluar namanya untuk membayar duapertiga
diyat kepada kedua temannya.Ketika diceritakan hal itu kepada Naby shollalohu
alaihi wasallam beliau bersabda :Aku tidak mengetahui kecuali apa yang
dikatakan Aly ( HR.Ahmad )
2.Ada pula perbuatan yang mendapat taqrir Naby
shollallohu alaihi wasallam dan menghasilkan hukum Nadb/ Sunnah, yang
dianjurkan untuk dilakukan.
Diantaranya ;
a.Hadits Bilal
radhiyallohu anhu ketika Rasululloh bertanya kepadanya ; (( khabarkan kepadaku
tentang amal yang paling engkau harapkan dalam islam )), setelah beliau
mendengar suara terompah Bilal mendahuluinya di surga, maka ia mengkhabarkan
bahwa tidaklah berwudhu baik siang maupun malam kecuali selalu shalat dengannya
apa yang sanggup dilakukan (HR.Bukhary )
Berkata Ibnu
Hajar ; diambil faidah darinya bolehnya berijtihad dalam penetuan waktu ibadah,
karena Bilal melakukan itu dengan istinbath, lalu dibenarkan oleh Naby
shollallohu alaihi wasallam.
Ini adalah
contoh taqrir yang menghasilkan istihsan Naby shollallohu alaihi
wasallam dan anjuran padanya.
b.Hadits Bilal
juga bahwa ia mendatangi Naby shollalohu alaihi wasallam memberitahu masuknya
waktu Fajar.lalu dikatakan padanya bahwa Naby shollallohu alaihi wasallam
sedang tidur. Lalu ia mengumandangkan ; Asholatu khairumminnaum.Maka
tetaplah adzan fajr demikian.(Riwayat Ibnu Majah).
c.Hadits Ubay
bin Kaab radhiyallohu ‘sanhu tentang
shalat tarawihnya bersama kaum wanita di rumahnya, dan taqrir beliau
shollallohu alaihi wasallam atas hal itu.Dikatakan ia adalah syibhurridha /
serupa dengan ridha dan beliau tidak berkata apa-apa[1].
d.Hadits shalat
abdurrahman bin auf mengimami manusia
saat Naby shollalohu alaihi wasallam terlambat ketika ada hajat, waktu perang
Tabuk, dan bermakmumnya beliau saat tiba, dan ucapan beliau shollallohu alaihi
wasallam ketika melihat ketakutan mereka : ahsantum atau qod ashobtum/
kalian benar.Beliau iri mereka dapat melaksanakan shalat tepat pada waktunya
(HR.Muslim).
e.Hadits Abu
Said Alkhudry radhiyallohu anhu dalam kisah kepala suku yang tersengat, lalu
mereka meruqyah dengan AlFatihah, dan ucapan Naby shollallohu alaihi wasallam ;
(( Tahukah kalian jika ia adalah ruqyah ?)).lalu bersabda : (( kalian telah
benar.Berbagilah di antara kalian dan berikan aku bagian, lalu tertawalah Naby
shollallohu alaihi wasallam.( HR.Bukhary ).
Ada kemungkinan
bahwa taqrir Naby shollallohu alaihi wasallam dengan ucapan (( kalian benar ))
adalah untuk ruqyah atau atas tawaqqufnya mereka dalam mensikapi bayaran hingga
meminta izin kepada Naby shollallohu alaihi wasallam , dan dimungkinkan lebih
umum dari itu.Yang jelas taqrir disini menunjukkan disyariatkannya hal
tersebut.
f.Hadits : maka ia adalah yang pertama mensunnahkan
/mencontohkan dua rakaat ketika hendak dibunuh ( HR.Bukhary ).
g.Hadits Buraidah Al aslamy dari ayahnya berkata bahwa
Naby shollallohu alaihi wasallam mendengar seorang berdoa ;(( Ya Alloh , aku
memohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa Engkau Alloh yang tiada Tuhan yang
benar selain-Mu al ahad alshomad....Alhadits.Lalu Naby shollallohu
alaihi wasallam bersabda ;Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh
ia telah meminta kepada Alloh dengan namanya yang paling agung, yang jika
berdoa dengannya Ia akan mengabulkan dan jika diminta dengannya Ia akan
memberi.(HR.Tirmidzy, beliau berkata ; hasan gharib)
Maka Naby shollalohu alaihi wasallam mentaqrir doanya dan
menjelaskan keagungan nilainya yang lalu disunnahkan berdoa dengannya.
Telah datang anjuran pada sebagian perbuatan atau ucapan ini dengan jelas, dan pada sebagian yang lain
tersirat dengan isyarah terhadap pentingnya perbuatan atau ucapan tersebut,
atau besarnya pahala dan ganjaran serta dikabulkannya disisi Alloh.
3.Dan ada pula taqrir yang menghasilkan takhyir / pilihan / mubah , baik pilihan secara mutlak
atau dengan penguatan / tarjih.
A.Pilihan mutlak
a. hadits Ibnu Umar radhiyallohu ‘anhuma yang meminta Abu
Bakar menggantikannya karena ia hendak witir sebelum tidur, yang Naby
shollalohu alaihi wasallam sabdakan ; (( بالحزم أخذت
)) (( engkau telah mengambil yang terbaik)), dan penundaan Umar bin khattab radhiyallohu
anhu shalat witir pada saat bangun dari tidur, maka Naby shollallohu alaihi
wasallam bersabda ;(( فعل القوي أخذت )) : (( engkau mengambil pekerjaan seorang yang
kuat ))[2].
Naby shollallohu alaihi wasallam mentaqrir dua perbuatan
itu yang menunjukkan disyariatkannya keduanya.Sehingga seorang memiliki pilihan,
jika ia yakin dapat bangun di malam hari ( maka menunda witir ), namun jika
tidak, maka ia dapat menyegerakan ( witir sebelum tidur ).
b.hadits Aly radhiyallohu anhu tentang bacaan Quran
AbuBakar ashidieq dan Umar bin khattab radhiyallohu anhuma.Abu bakar ashidieq
radhiyallohu anhu sangat melirihkan bacaan quran di malam hari sedang Umar
menjaharkan suara bacaannya, dan keduanya menjelaskan sebab perbuatan
masing-masing.Lalu beliau bersabda : (( semuanya baik )).(HR.Ahmad)
Taqrir Naby shollallohu alaihi wasallam atas perbuatan
keduanya menunjukkan takhyiir /pilihan.
2.Pilihan dengan tarjih salah satu
a.hadits Abu Said Alkhudry radhiyallohu anhu tentang apa
yang dilakukan dua orang dalam safar ketika masuk waktu shalat sedang keduanya
tidak mempunyai air, lalu keduanya bertayammum dan sholat, kemudian keduanya
menemukan air.Maka salah satu dari mereka mengulangi shalat dan yang lain
tidak.Tatkala keduanya datang kepada Rasululloh shollallohu alaihi wasallam dan
menceritakan kepada beliau, maka beliau bersabda kepada yang tidak mengulangi ;
(( engkau mencocoki sunnah, cukup bagimu shalatmu )), dan kepada yang lain ; ((
engkau mendapat pahala dua kali )).( HR.Abu Dawud ).
Ia mendapat pahala dua kali karena ijtihadnya sebelum
mengetahui hukum, dan karena beban yang ia tanggung, karena dua kali
melaksanakan ibadah dalam rangka berhati-hati ( ihtiyath ).Hukum ini
khusus untuk kasus ini saja yaitu diman ia telah mengungguli saudaranya dalam
mendapat pahala.Akan tetapi hukum yang disimpulkan dalam kejadian itu adalah
bahwa yang afdhol adalah yang pertama ( tidak mengulang ), bahkan ( jenis kedua
), bisa tidak mendapat pahala karena menyelisihi sunnah setelah tahu ilmunya.
4.Adapula taqrir
terhadap perbuatan yang tidak menghasilkan hukum mandub/sunnah, melainkan nash
atau konteks menghasilkan hukum boleh melakukannya ( mubah ), baik perbuatan
atau meninggalkan perbuatan yang bersifat menambah atas nash/teks syariat.
Jenis ini tidak bisa naik ke tingkat sunnah yang
dianjurkan, dan ( tingkat )yang selalu shahabat kerjakan karena dua alasan ;
1.Cukupnya ( tujuan ) tercapai dengan perintah asal dan tidak butuh kepada
tambahan itu.Yang jika dilaksanakan pun tidak bermasalah.
2.Hal itu dilakukan hanya oleh sebagian shahabat, dan
tidak terus- menerus.
Karena itulah nash-nash syariat yang lain membawa makna
yang dikandungnya dari penunjukan tekstual. Yang nash-nash tersebut menunjukkan
pemahaman atas masalah dan tujuan syariat dalam asal perintah.
Contohnya ;
a.tambahan dalam talbiyah
Apa yang ditambahkan para shahabat ridhwanulloh alaihim
dalam talbiyah dan ucapan Jabir bin Abdillah radhiyallohu anhu ; (( manusia
menambahkan ; Dzal maarij )) sedang Naby sholllallohu alihi wasallam mendengar
namun tidak mengatakan sesuatu pun.Seperti ucapan Ibnu Umar radhiyallohu anhuma
( HR.Abu Dawud ) :
لبيك لبيك لبيك و سعديك و الخير بيديك و الرغباء إليك و العمل
Berkata Ibnu Hajar ; ini menunjukkan bahwa mencukupkan
atas talbiyah yang marfu adalah afdhol, karena Beliau shollallohu alaihi wasallam
terus-menerus demikian, tetapi tidak apa-apa jika menambahkan, karena beliau
shollalohu alaihi wasallam tidak mengingkarinya bahkan mentaqrir.Ini adalah
pendapat jumhur ulama.Ibnu AbdilBarr menceritakan dari Malik bahwa ia
memakruhkannya, dan itu merupakan salah satu dari dua pendapat Imam Syafi’y.Turmudzy
menceritakan dari Syafi’y ; Jika ditambah dalam talbiyah dengan sesuatu yang
termasuk pengagungan terhadap Alloh maka tak mengapa.Tapi yang lebih aku sukai
adalah mencukupkan dengan talbiyah Rasululloh shollallohu alaihi wasallam.Imam Baihaqi
menceritakan dalam AlMakrifah dari Syafi’y berkata : tidak ada kesempitan bagi
yang hendak membaca apa yang dibaca Ibnu Umar dan selainnya berupa pengagungan
Alloh dan doa, hanya saja yang aku pilih adalah mengkhususkan dengan apa yang
datang dari Naby shollallohu alaihi wasallam dalam hal itu.Berkata Ibnu Hajar:
ini adalah sisi yang paling adil[3].
Taqrir jenis ini walaupun menunjukkan pensyariatan namun
membutuhkan dalil yang menunjukkan persamaan ( dengan perbuatan Naby saw)
apalagi untuk menunjukkan lebih afdhol.
Tidaklah semua yang dilakukan di hadapan Naby
sholllallohu alaihi wasallam berupa
perbuatan atau ucapan yang merupakan tambahan / ziyadah atas asal
perintah adalah diperintahkan sebagai sesuatu yang afdhol atau anjuran, namun
maksimal hanya menunjukkan jawaz ( boleh ).Bahkan terkadang terdapat
sinyalemen tentang ketida- afdholan hal itu.
Ada perbedaan antara hukum yang didasarkan taqrir dengan
taqrir terhadap perkara yang merupakan tambahan atas nash.Dan diamnya Syaari’/
Pembuat syariat tidak bisa memberi faidah hukum selain jawaz ( boleh ).Dan
jika bergabung dali-dalil lain yang menguatkan tujuan syariat maka jelaslah
bahwa afdhol terdapat pada apa yang di nash-kan oleh Pembuat Syariat.
b.Termasuk kasus ini adalah apa yang dibuat
judul oleh Bukhary rahimahulloh dalam shahihnya tentang menempelkan bahu dengan
bahu dan kaki dengan kaki dalam shaf.
Perbuatan ini tidak terus-menerus dilakukan para
shahabat, karena mereka mencukupkan
dengan apa yang ditunjukkan oleh nash-nash yaitu pemahaman terhadap maksud yang
terkandung dalam dalil-dalil masalah meluruskan shaf dan menegakkannya.
Mereka memahami bahwa
maksud Naby shollallohu alaihi wasallam adalah ;
1.kesempurnaan shaf dan lurusnya, yaitu satu shaf yang
tidak semrawut.Berupa setentangnya antara bahu, karena tentu tidak mungkin
menempelkannya saat berdiri apalagi dalam seluruh gerakan shalat.
2.saling berdekatan dan tidak membiarkan yang lowong.Karena
itulah Pembuat syariat memperingatkannya agar syaithon tidak memasuki shaf
orang yang shalat.
Inilah tujuan yang hendak dicapai oleh Pembuat syariat,
sebagaimana datang dalam hadits –hadits yang banyak dalam masalah ini.
Adapun yang lebih dari itu ( yakni menempelkan), maka
tidak mengapa dilakukan jika mudah, adapun jika mustahil seperti menempelkan
lutut atau bahu atau harus terus demikian sepanjang gerakan shalat, maka tidak
lain itu adalah perkara yang menyibukkan hati orang yang shalat dari apa yang
seharusnya yaitu khusyu’ dan menghadirkan hati.Bukan menyibukkan hati untuk
mengejar ( kaki ) orang yang berada di sebelah kanan atau kirinya, agar
menempel pada seluruh gerakan dan diam shalat, seperti yang sering dilakukan
sebagian orang yang mengganggu orang lain yang shalat ( disampingnya ).
Kemudian kita pun perlu mempertanyakan sikap para salaf
dari kalangan ahli fiqih umat ini tentang gerakan ini dalam shalat.Apakah mungkin
mereka bersepakat meninggalkannya jika ia tsabit atau rajih untuk dilakukan ?
Hal ini telah diikuti banyak orang jahil, yang menyebabkan
banyak perbuatan bodoh yang merusak tujuan shalat manusia.
-
Bukannya meluruskan shaf ketika hendak shalat dengan
mendekati sebelah kanan atau kirinya justru ia membuat jarak dengan membuka lebar
kedua kaki yang menghalangi dari saling mendekat selain dengan cara menginjak
kaki tetangganya.Dan jika ruku atau sujud maka akan terjadi celah yang telah
diperingatkan syariat darinya .
-
Sebagian orang yang bekerja sebagai buruh bangunan yang
berkaki besar dan kasar dengan kuku yang
panjang jika ditempelkan dengan
kaki normal maka jelas akan menghilangkan kesempatan tetangganya untuk
mentadabburi shalatnya.
-
Termasuk kebodohan dalam hal ini adalah berlebihannya
sebagian orang dalam membuka kaki dan mengangkat tumit.Miring kedepan dan
mengangkat bagian belakang tubuh, bahkan terkadang disertai gerakan-gerakan
aneh yang tidak ada nash atau dalilnya.
-
Terpaksa bagi seorang yang ingin menempelkan mata kakinya
dengan mata kaki tetangganya untuk menghadapkan kaki kedalam sehingga bisa
menempel.Sebab bentuk kedua telapak kaki tentu menghalangi dari menempelkan
mata kaki kecuali dengan memiringkan telapak kaki ke arah dalam, dan agar bisa
menempelkan kedua lutut.Tampak jelas bahwa posisi berdiri yang demikian tidak
ada hubungan sama sekali dengan ruh shalat dan khusyu’, bahkan dapat
memalingkan perhatian seorang dari ibadahnya.
-
Terlebih lagi jika ditambah dengan perasaan ujub, merasa
paling baik dengan mengamalkan gerakan ini, maka dikhawatirkan seorang tidak
mendapatkan apa-apa dari shalatnya
selain kerugian.Karena itulah para salaf memalingkan hal ini kepada apa yang
dituju syariat.Karena dirasakan bahwa perintah tersebut tidaklah diberikan
kecuali untuk mewujudkan tujuan yang disebut dengan nash/teks Pembuat syariat.Jika
dimisalkan bahwa hal itu benar terjadi maka tidak terus-menerus dilakukan di zaman shahabat, apalagi
setelahnya.
Karena itulah
Ibnu Hajar rahimahulloh berkata ;(( Yang dimaksud adalah mubalaghoh (
bersungguh-sungguh dalam ) meluruskan shaf dan menutup celah ))[4].
Jika ia (
menempelkan kaki ) adalah sunnah yang dianjurkan tentu para shahabat tidak akan
meninggalkannya- jika benar mereka mempraktekannya-.Bahkan perawi sendiri (
Anas bin Malik radhiyallohu anhu ) meninggalkannya ( menempelkan ) .Anas radhiyallohu
anhu berkata ;
لو فعلت ذلك بأحدهم اليوم لنفر، كأنه بغل شموس
Artinya ; jika
aku melakukannya ( menempelkan kaki ) kepada seorang dari mereka hari ini niscaya
ia lari seperti bighal yang kepanasan[5].
Apakah mungkin
shahabat meninggalkan sunnah ini hanya karena manusia tidak mau melakukannya ? Jika
memang karena kekurangpedulian shahabat ini – Ma’adzalloh -, lalu
bagaimanakah seluruh pengikut madzhab, apakah mereka seluruhnya meremehkan
sunnah ini dan menyepelekannya sehingga tidak ada yang menjaganya ?
Yang benar
adalah bahwa para salaf dari shahabat dan tabi’ien dan para imam mujtahidien
jika mereka tidak memahami bahwa perbuatan yang merupakan tambahan terhadap
perintah syariat ini selain perkara yang
ja’iz ( boleh ) saja,
tentu mereka semua tidak akan meninggalkan perbuatan ini, bahkan diantaranya
adalah perawi sendiri, seperti yang telah dijelaskan, dan jelas dengan kasus –
kasus yang serupa di atas.Perlu diperhatikan bahwa tidaklah semua yang ditaqrir
dari perbuatan shahabat adalah menjadi sunnah yang diperintahkan, khususnya
yang datang dalam bentuk ijtihad tambahan atas nash.Dan bahwa taqrir
dapat menghasilkan hukum yang berbeda-beda, jika tidak demikian maka makan dhobb
( sejenis biawak padang pasir ) adalah sunnah yang dianjurkan, karena
terjadi dengan disaksikan Naby shollallohu alaihi wasallam.(Tentunya tidak
demikian - pent ).
Juga terdapat
perbuatan-perbuatan lain yang taqrir
hanya menetapkan kebolehannya secara mutlak, seperti :
c.hadits Abu
Bakroh radhiyallohu anhu yang ruku dari belakang shaf dan taqrir Naby
shollallohu alaihi wasallam terhadapnya, dengan ucapan ; (( semoga Alloh
menambahkan semangatmu dan jangan kau ulangi ))(HR.Bukhary )
d.seperti contoh
sebelumnya yaitu kasus shahabat yang mengulangi shalatnya setelah menemukan air
padahal ia telah shalat dengan tayammum.Maka tidak disyariatkan pengulangan,
walau pun Naby shollallohu alaihi wasallam mentaqrirnya.Bahkan ucapan Naby
shollallohu alaihi wasallam kepada temannya : (( engkau mencocoki sunnah )),
menunjukkan bahwa perbuatan ( yang mengulang ) menyelisihi sunnah namun
tertutup ( kesalahan ini ) oleh ( pahala) ijtihadnya walaupun tidak mencocoki
sunnah namun mendapat pahala ijtihad.
5.Taqrir untuk menunjukkan perbuatan itu dapat diganti
dengan sifat yang lain, tanpa diminta mengulang.
Seperti pada kisah Ammar bin Yasir dan Umar bin Khattab
radhiyallohu anhum ketika junub dalam safar.Adapun Umar maka ia tidak shalat,
sedang Ammar berguling-guling di tanah, maka Naby shollallohu alaihi wasallam
bersabda : (( ini cukup bagimu )), lalu beliau mencontohkan tayammum.(
HR.Bukhary ).
6.Taqrir untuk menunjukkan kesesuaian dengan keadaan yang disebutkan.
Seperti dalam hadits Abu Darda’ tentang seorang yang
berkata ; Tiada tuhan yang benar selain Alloh yang Esa tiada sekutu bagi-Nya
maka masuk surga.Ia berkata : walau pun berzina dan mencuri ? Beliau bersabda :
walau pun berzina dan mencuri......Alhadits.Lalu orang itu keluar untuk
mengumumkan hal itu kepada manusia.Lalu ia bertemu Umar, lalu Umar berkata :
kembalilah, sesungguhnya manusia jika mengetahui ini mereka tentu akan
bersandar padanya.Maka ia kembali dan menceritakan hal itu kepada Naby
shollallohu alaihi wasallam maka beliau bersabda ; (( Umar benar )).(HR.Ahmad).
7.Taqrir untuk menunjukkan kesesuaian berita
Sebagaimana dalam hadits Muhammad bin almunkadir berkata
: aku melihat Jabir bin Abdillah bersumpah demi Alloh bahwa ibnu shoyyad adalah
dajjal.Aku berkata; engkau pun bersumpah ?Ia ( Jabir ) berkata ; aku mendengar
Umar bersumpah atas itu di sisi Naby shollallohu alaihi wasallam maka Naby shollallohu
alaihi wasallam tidak mengingkarinya (HR.Bukhary ).
Berkata Ibnu Hajar rahimahulloh ; (( para ulama telah
bersepakat bahwa taqrir Naby shollallohu alaihi wasallam terhadap apa yang
dilakukan di hadapan beliau atau beliau ketahui tanpa pengingkaran menunjukkan
hukum jawaz ( boleh )).
( Kesimpulan )
Dan dari apa yang telah dibahas ini menjadi jelas bahwa
taqrir dari Naby shollallohu alaihi wasallam terhadap apa yang dilakukan atau dikatakan
di hadapan beliau shollallohu alaihi wasallam, tidak menunjukkan satu hukum
saja ; wajib atau mandub atau mubah.Dan bahwa ada perbedaan antara ( taqrir )
sebagai dasar hukum dengan ( taqrir ) atas
ziyadah / tambahan terhadap hukum.Yang hal itu dapat ditelusuri
dengan meneliti dan mengetahui asbab wurud dalil-dalil dan bagaimana
metodologi istinbath hukum darinya dengan tinjauan komprehensif terhadap maqashid
syariah.Wallohu A’lam.
DR. Ahmad Muhammad Nur Saif
Mudir Aam Darul Buhuts dan Ketua Majlis Wakaf dan Urusan
Keislaman Dubai.
Penterjemah : Abdul Hakim Lc
Bintaro, Sahur 5 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar