Senin, 04 Februari 2013

Akar Terorisme






Syubhat Takfiry

Membedah kerancuan berfikir kaum teroris dan kesalahan mereka dalam berinteraksi dengan dalil










Syaikh Abdul Aziz bin Rayyis Al Rayyis hafidzahulloh
Penterjemah : Abdul Hakim Lc



بسم الله الرحمن الرحيم



Pengantar penterjemah
Segala puji bagi Alloh, shalawat dan salam semoga tercurah bagi Rasululloh, seluruh istri, shahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.Amma ba’du.
Berikut ini adalah terjemah kitab “ Al Burhan  Al Munir fy dahdhy syubuhat ahli takfir wa tafjir “ ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz bin Rayyis hafidhahulloh.
Semoga tulisan ini bisa menjadi obat bagi hati yang telah terkena virus dan bakteri “ Khawarij  Gaya Baru “.Dan semoga Alloh memberi manfaat bagi obat ini karena hanya Dia-lah yang satu-satunya yang mampu  menyembuhkan penyakit dhahir dan bathin.
Sebagaimana kami ( penterjemah ) pernah terkena penyakit syubhat ini sekitar tahun 2003-2004, lalu Alloh menyelamatkan[1], maka kami berharap kepada Alloh agar buku ini tersebar luas dan bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin sehingga mereka dapat selamat dari syubhat takfiry.Kami mengizinkan penyebarluasan dan memperjualbelikan buku terjemah ini dengan syarat tidak merubah isi dan tidak mengambil dari keuntungan duniawy.
Wallohul Muwaffiq ilaa aqwamithariq.
Abdul Hakim bin Muhammad bin Mukhlish bin Abdul Qaadir bin Abdul Ghany.
Judul terjemahan  : Syubhat Takfiry ( membedah kerancuan berfikir kaum teroris[2] dan kesalahan mereka dalam berinteraksi dengan dalil )
Judul asli : Al Burhan  Al Munir fy dahdhy syubuhat ahli takfier wa tafjier
Penulis : Abdul Aziz bin Rayyis Al Rayyis
Pengelola situs www.islamancient.net



Pengantar penulis
Assalam ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh
Amma ba’du.
Sesungguhnya para takfiriyin dan tafjiriyin ( pemvonis kafir dan pengebom ), para teroris dan yang terpengaruh oleh pemikiran mereka memiliki syubuhat ( kerancuan berfikir ), yang mereka ulang-ulangi dalam berbagai tulisan yang mereka buat dan situs website yang mereka sebarkan.Sehingga mereka memasukkan keraguan kepada jiwa sebagian pemuda yang memiliki semangat kebaragamaan yang berlebih.Maka saya ingin mendekatkan diri kepada Alloh dengan membongkar...
sebelas syubhat mereka yang terbesar, dengan  kemudahan dari Alloh yang menunjukkan kita kepada dalil-dalil syar’iyah dan nukilan ilmiyah dari para ulama dakwah salafiyah.Dan saya akan mengambil contoh kasus Negara Tauhid Kerajaan Arab Saudi – semoga Alloh menjaganya – karena ia adalah negara yang istimewa dibanding negara yang lain dalam meninggikan panji tauhid dan sunnah dan pelayan bumi haromain dan tempat turun wahyu ( yang tidak selamat dari kejahatan teroris ).
Dan perlu kita perhatikan bahwa yang tercela adalah takfir ( pengkafiran ) yang dilakukan tanpa haq ( kebenaran ).Adapun pengkafiran dengan haq yang sesuai dengan ushul Ahli Sunnah / Salafiyien, maka tidak tercela.Agar tidak disangka bahwa dalam manhaj ahli sunnah salafiyin tidak ada takfir secara ta’yin ( vonis ), sebagaimana dituduhkan oleh sebagian pihak.Namun mereka – semoga Alloh merahmati dan meridhai mereka – berhati - hati dari tergesa-gesa dan ekstrim dalam takfir , sedang yang telah terpenuhi padanya syarat dan tidak ada penghalang maka mereka kafirkan karena berarti mereka telah mengkafirkan namun berdasar dalil-dalil syar’iy.
Termasuk dalil yang paling jelas dalam hal ini adalah takfir yang dilakukan Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam kepada seorang yang menghalalkan farji istri ayahnya dan menikahinya dan beliau Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mengambil khumus dari hartanya- akan ada bahasannya.Dan takfir yang dilakukan Abu Bakr Ashidieq radhiyallohu anhu dan para shahabat kepada kaum yang menahan zakat dan menyebut mereka sebagai murtaddun ( orang-orang murtad ).Dan Umar bin Khattab radhiyallohu anhu mengancam kaum yang menghalalkan minum khamr karena ta’wil, bahwa jika mereka tidak rujuk dari pendapat itu maka mereka kafir, yang diantara mereka ada Qudamah bin Madh’un Al Badry.
Saya namakan buku ini dengan nama “ Al Burhan  Al Munir fy dahdhy syubuhat ahli takfir wa tafjir “ ( Dalil yang memberi cahaya dalm menghancurkan syubhat ahli takfier dan tafjier ).
Saya memohon kepada Alloh agar melindungi kaum muslimin dari bahaya Ifrath dan Tafrith ( ekstrim dan meremehkan ) dalam beragama dan melindungi kita semua dari keburukan takfiriyin dan tafjiriyin , sesungguhnya Ia adalah Dzat yang maha mengabulkan doa.
Wassalam alaikum warohmatullahi wabarokatuh.


Syubhat Pertama
Pemerintah telah kafir karena karena mereka tidak berhukum dengan apa yang Alloh turunkan.
Jawaban :
Jawaban bagi syubhat ini dengan mujmal ( global ) dan tafshiel ( rinci ).
Jawaban mujmal :
Takfier dalam masalah tidak berhukum dengan apa yang Alloh turunkan termasuk masalah yang diperselisihkan.Adapun dua imam yaitu Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al Albany rahimahumalloh maka mereka berpendapat bahwa ini adalah kufur ashghar bukan kufur akbar.
Seperti yang dilansir surat kabar Asyarq Al Ausath No. 6156 tertanggal 12/5/1416 H, bahwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz menulis sebuah makalah yang beliau berkata : “ Saya telah meneliti jawaban yang sangat bermanfaat yang baik sekali yang disebutkan oleh Shahibul Fadhilah Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albany – waffaqohulloh – yang dilansir  surat kabar Asyarq Al Ausath dan koran Al Muslimun, dimana beliau menjawab seorang yang bertanya tentang pengkafiran kepada pemerintah yang menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan tanpa tafshiel.Saya menilai sebagai jawaban yang berharga yang menepati kebenaran, mengikuti jalan kaum mukminin.Beliau menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seorang pun untuk mengkafirkan seorang yang menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan denga sekedar perbuatan  tanpa mengetahui apakah ia menghalalkan hal itu dengan  hatinya.Beliau berdalil dalam masalah itu dengan apa yang datang dari Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma dan selainnya dari salaful ummah.Dan tidak ragu lagi bahwa apa  yang beliau sebutkan ketika menjawab tentang tafsir ayat :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ ، ﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴾ ، ﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾
adalah benar .
Beliau  menjelaskan bahwa kufur ada dua jenis yaitu kufur akbar dan kufur ashghar, sebagaimana dzalim ada dua jenis, demikian juga kefasikan, ada yang akbar dan ada yang ashghar.Maka barangsiapa yang menghalalkan menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan baik dalm masalah zina atau riba atau selainnya dari hal-hal haram yang telah disepakati keharamannya maka ia telah kafir dengan kufur akbar, sedang siapa yang melakukannya tanpa istihlal maka kekufurannya adalah kufur ashghar dan kedzalimannya adalah dzalim ashghor, demikian juga kefasikannya.selesai.
Dan inilah juga yang difatwakan Lajnah Daimah Lilbuhuts Al ilmiyah Wal Ifta ( Komite Tetap Riset Dan Fatwa Islam ) pimpinanSyaikh Bin Baz rahimahulloh.Berikut fatwa No.6741 :
Pertanyaan : Siapa yang tidak menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan apakah dia muslim atau kafir dengan kufur akbar sehingga tidak diterima seluruh amalnya ?
Jawaban : Alloh berfirman :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim ( QS.Al Maidah : 45 )
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾
 Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ( QS.Al Maidah : 47 )
Akan tetapi siapa yang menghalalkan hal itu dan meyakini kebolehannya maka itu adalah kufur akbar, dzalim akbar dan fasiq akbar keluar dari agama.Adapun yang melakukan itu karena risywah/sogokan atau maksud lain sedang ia meyakini keharamannya ; maka ia seorang yang berdosa dianggap kafir dengan kufur ashghar, fasiq dengan kefasikan ashghar yang tidak mengeluarkannya dari agama ; sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama dalam menafsirkan ayat-ayat di atas[3].
Samahatu Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahulloh menjelaskan : siapa yang menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan tidak keluar dari empat perkara :
1.mengatakan : aku menghukumi dengan ini – yaitu Undang-Undang buatan manusia – karena lebih baik dari syariat islam maka dia kafir dengan kufur akbar.
2.mengatakan : aku menghukumi dengan ini ; karena sebanding dengan syariat islam, berhukum dengan ini boleh dan dengan syariat juga boleh , maka dia kafir dengan kufur akbar.
3.mengatakan : aku menghukumi dengan ini dan syariat islam lebih baik, akan tetapi menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan adalah boleh.Maka dia kafir dengan kufur akbar.
4.mengatakan : aku menghukumi dengan ini dalam keadaan ia meyakini bahwa menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan adalah tidak boleh, dan menyatakan ; menghukumi dengan syariat lebih baik dan tidak boleh menghukumi dengan selainnya, akan tetapi ia meremehkan, atau melakukannya karena ketetapan yang berasal dari pemerintahnya maka dia kafir dengan kufur ashghor tidak keluar dari agama, dan dianggap termasuk perbuatan dosa besar yang paling besar[4].
Apabila telah jelas bahwa ini adalah pemasalahan ijtihadiyah, maka takfir lil a’yan ( vonis takfir ) tidak dapat dilakukan dalam hal yang ahlisunnah sendiri  berselisih, karena ikhtilaf adalah salah satu penghalang dari vonis takfir.
Berkata Al Imam Muhammad bin Abdul Wahab rahimahulloh : rukun islam ada lima ; yang pertama adalah dua kalimat syahadat, kemudian empat rukun yang lain.Maka yang empat ini jika seorang mengakuinya tetapi meninggalkannya karena meremehkan, maka kami walau pun  memeranginya karena hal itu akan tetapi kami tidak mengkafirkannya dengan sekedar meninggalkan.Karena para ulama berbeda pendapat dalam masalah seorang yang meninggalkannya karena malas tanpa juhud ( penentangan ), dan kami tidak mengkafirkan kecuali dalam hal yang disepakati para ulama seluruhnya, yaitu dua kalimat syahadat[5].
Nawawy rahimahulloh mengatakan dalam kitabnya “ Riyadhushalihin “ dalam menafsirkan bawwahan ( بواحاً ) / kekufuran yang jelas  : yaitu yang dzahir lagi tidak mengandung ta’wil.
Dan perselisihan ulama adalah satu bentuk takwil yang menghalangi vonis takfir ; karena yang dikafirkan tersebut bisa  mengambil pendapat ulama yang lain yang menyatakan  bahwa khilaf itu boleh antara ahlu sunnah selama mereka masih termasuk ahli sunnah.
Dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahulloh juga menegaskan bahwa takfir tidak bisa dijatuhkan dalam perkara yang diperselisihkan dalam pertemuan terbuka ( liqo maftuh ).Bahkan beliau rahimahulloh berkata dalam “Syarh  Al Qowa’id Al Mutsla” :
“ dan banyak dari manusia – pada hari ini – di antara kelompok yang menisbatkan diri kepada agama dan ghirah/ kecemburuan pada agama Alloh Azza Wa Jalla, engkau dapati mereka mengkafirkan orang yang tidak dikafirkan oleh Alloh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.Bahkan – yang patut disayangkan- sebagian orang selalu berdebat tentang pemerintah mereka, berusaha agar dapat memvonis mereka dengan kekafiran.Hanya sekedar karena melakukan hal yang mereka anggap haram, dan terkadang termasuk perkara khilafiyah, dan terkadang penguasa ini memiliki udzur kejahilan.Karena penguasa tentu berinteraksi dengan orang yang baik dan orang yang buruk.Dan setiap penguasa selalu meliki dua jenis teman dekat ; yang baik dan yang buruk.Maka sebagian penguasa – misalkan –suatu saat didatangi orang yang baik dan mengatakan ; hal ini haram dan tidak boleh Anda lakukan, namun di saat yang lain datang orang lain yangmengatakan : ini halal dan Anda boleh melakukannya.Kita beri contoh masalah bank, sekarang tentunya kita tidak ragu bahwa bank-bank melakukan praktik riba yang Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam telah melaknat setiap orang yang makan dari riba, yang memberi riba, dua saksi dan penulisnya, dan bahwa bank-bank konvensional ini wajib ditutup dan diganti dengan bank yang berpraktik  dengan  muamalat yang halal, sehingga tegak agama kita – ini yang pertama- lalu ekonomi kita – ini yang kedua-.
Maka tergesa-gesa menghukumi pemerintah muslimin dalam perkara ini adalah kesalahan yang besar, dan kita mesti bersabar karena bisa jadi pemerintah memiliki udzur.
Jika telah tegak hujjah atasnya dan ia berkata : benar, inilah aturan syariat, dan bahwa riba ini haram, tetapi saya berpandangan bahwa tidak akan baik ekonomi umat pada masa ini kecuali dengan riba ini ! maka pada saat itu ia menjadi kafir karena meyakini bahwa agama Alloh di waktu ini tidak baik dijalankan karena sudah tidak sesuai dengan zaman.Adapun jika ia bersyubhat dan dikatakan : ini halal , yakni karena para ahli fiqh mengatakan demikian ! , atau karena Alloh berfirman demikian ..!, maka orang sperti ini bisa jadi mendapat udzur.Karena banyak dari pemerintah kaum muslimin sekarang mereka jahil terhadap hukum-hukum syar’iy, atau terhadap banyak hukum syar’iy.Maka saya sengaja memberikan contoh demikian supaya jelas bahwa permasalahan ini berbahaya.Dan bahwa takfir harus diketahui syarat-syaratnya dahulu”.
Demikian juga tafsiq tidak bisa diterapkan dalam hal yang diperselisihkan oleh ulama sunnah.Maka barangsiapa berpandangan bahwa  illat terjadinya riba pada empat komoditi riba adalah makanan pokok ( الطعم ) dan takaran atau timbangan, maka dia tidak dapat menjatuhkan tafsiq kepada seorang awam yang bertaklid kepada seorang ulama mu’tabar yang berpandangan bahwa illat riba pada empat komoditi tersebut adalah simpanan ( الادخار ( sebagai tambahan illat makanan pokok dan takaran atau timbangan, jika melakukan pertukaran tidak sama dengan yang tidak disimpan.
Termasuk yang menguatkan hal ini adalah kaidah bahwa hukum had dibatalkan dengan syubuhat (الحدود تدرأ بالشبهات   ), maka hukum takfir lebih berhak dibatalkan dari seorang tertentu dengan syubhat khilaf.Wallohu a’lam.
Adapun jawaban tafshil :
Sesungguhnya meninggalkan memutuskan hukum dengan apa yang Alloh turunkan walaupun merupakan hal yang sangat buruk dan jelek, namun ia bukan kufur akbar.Ia adalah kufur ashghar sebagaimana ditegaskan oleh para pemimpin umat dari kalangan ulama sunnah – seperti yang akan dibahas-.Walaupun ia kufur asghar bukan akbar bukan berarti boleh meremehkannya ; karena jika syariat tidak mensifati keburukannya selain dengan kata kufur tentu telah cukup.Berikut ini adalah dalil dan nukilan ulama umat diantaranya dua imam Abdul Aziz bin Baz dan Muhammad Nashirudin Al Albany rahimahumalloh yang menetapkan permasalahan ini dalam kufur ashghar bukan akbar.
Para ulama telah bersepakat masalah menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan ada yang kufur akbar mengeluarkan seorang dari agama seperti jika menentang ( جحوداً ) atau menganggap halal ( استحلالاً ) yang akan ada rinciannya-, ada pula yang buka kekufuran seperti seorang ayah yang mendzalimi seorang dari dua anaknya dan tidak berbuat adil, yang berarti ia telah memutuskan antara keduanya dengan selain apa yang Alloh turunkan.Sebab memutuskan perkara antara dua anak juga termasuk memutuskan perkara, jika adil maka berarti sesuai dengan yang Alloh turunkan, dan jika dzalim berarti dengan selain yang Alloh turunkan.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh : dan setiap orang yang memutuskan hukum antara dua orang maka ia adalah qadhy / hakim sama saja apakah ia tentara atau bekerja di kantor atau diangkat untuk amar ma’ruf dan nahy munkar sampai seorang yang memutuskan antara anak-anak dalam hak mereka, maka sungguh para shahabat menganggapnya termasuk dari pemerintah ( pemutus perkara )[6].
Menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan bermacam-macam, namun ada satu keadaan yang banyak dibicarakan yaitu jika pemerintah menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan karena hawa nafsu dan syahwat berupa menetapkan undang-undang atau mengadopsi undang-undang yang telah ditetapkan sebelumnya, namun masih merasa bermaksiat dan bersalah, apakah yang seperti ini dianggap melakukan kufur yang mengeluarkan dari agama atau tidak ?
Sebelum disebutkan dalil setiap pendapat, terlebih dahulu saya petakan permasalahan yang terangkum sebagai berikut :
1.pemerintah menentang hukum Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, dan maksud menentang adalah mendustakan dan mengingkari bahwa ini adalah hukum Alloh Azza Wa Jalla, ini adalah kufur secara kesepakatan.Alloh berfirman :
﴿ وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْماً وَعُلُوّاً  ﴾
Artinya : dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini ( kebenaran ) nya ( QS. Annaml : 14 )
﴿ فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ  ﴾
Artinya : karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah ( QS. Al An’am : 33 )
Dan kufur juhud ada dua jenis : kufur ‘aam dan kufur muqoyyad khaash .Adapun kufur khash muqoyyad adalah mengingkari satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban dalam islam atau mengingkari satu keharaman dalam islam[7] .
Perbedaan antara takdzib ( mendustakan ) dan juhud ( menentang ) dari dua sisi :
a.kufur juhud adalah takdzib lisan dengan ilmu di hati
b.kufur juhud disertai pembangkangan[8].
2.pemerintah memperbolehkan hukum dengan selain apa yang Alloh Subhanahu Wa Ta’ala turunkan : dan ini adalah istihlal ( menganggap halal ) dan ia merupakan kufur dengan kesepakatan.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata : dan seseorang kapan dia menghalalkan yang haram yang disepakati keharamannya atau mengharamkan yang halal yang disepakati kehalalannya, atau mengganti syariat yang disepakati maka ia kafir murtad dengan kesepakatan para ahli fikih, dan pada yang seperti inilah turun firman Alloh Ta’ala – menurut satu dari dua pendapat-
{ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ }
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
Yaitu yang menghalalkan hukum dengan selain yang Alloh turunkan[9].
Dan beliau berkata : penjelasannya adalah bahwa barangsiapa melakukan keharaman dengan menghalalkannya maka dia kafir dengan kesepakatan, sebab tidaklah beriman dengan Al Quran seorang yang menganggap halal apa yang Al Quran haramkan[10] .
Beliau juga berkata : dan tidak ragu bahwa barangsiapa tidak meyakini kewajiban berhukum dengan apa yang Alloh turunkan atas Rasul-Nya maka dia kafir, barang siapa menghalalkan untuk diputuskan antara manusia dengan apa yang dipandangnya adil tanpa mengikuti apa yang Alloh turunkan maka dia kafir[11].
Dan termasuk yang menunjukkan bahwa istihlal adalah kekufuran adalah :
a.Firman Alloh Ta’ala :
﴿ إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَاماً وَيُحَرِّمُونَهُ عَاماً لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ
Artinya : Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. ( QS. Taubah : 37 )
Berkata Ibnu Hazm : secara hukum bahasa yang diturunkan Al Quran dengannya, bahwa tambahan terhadap sesuatu pasti akan menjadi bagian darinya bukan selainnya, maka benarlah bahwa mengundurkan  adalah kekufuran dan juga perbuatan dan juga penghalalan terhadap apa yang Alloh Ta’ala haramkan, maka barangsiapa menghalalkan apa yang Alloh Ta’ala haramkan dalam keadaan mengetahui bahwa Alloh Ta’ala telah mengharamkannya maka ia kafir dengan sebab perbuatan itu[12].
b.firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ ﴾
Artinya : Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik ( QS. Al An’am : 121 )
Berkata Syaikh Abdullathif bin Abdurrahman bin Hasan : ( perhatikan ) bagaimana Alloh menghukumi bahwa  siapa yang mentaati wali-wali syaithon dalam menghalalkan apa yang Alloh haramkan bahwa dia musyrik dan ditegaskan itu dengan “ sesungguhnya “ yang menekankan[13].
c.firman Alloh Ta’ala :
﴿ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ( QS. Syuraa : 21 )
Berkata Ibnu Katsier : “ sesungguhnya mereka tidak mengikuti apa yang Alloh syariatkan kepadamu berupa agama yang lurus, tetapi mengikuti apa yang disyariatkan oleh syaithan- syaithan mereka dari golongan jin dan manusia berupa pengharaman apa yang mereka haramkan baik bahirah dan saibah dan washilah dan haam dan penghalalan darah dan judi ”....sampai ucapan beliau  : dari penghalalan dan pengharaman dan ibadah yang batil serta ucapan yang rusak ”[14].
Berkata Ibnu Jarir : Alloh Ta’ala Dzikruhu berfirman apakah kaum musyrikin memiliki sekutu-sekutu dalam kesyirikan dan kesesatan mereka yang mensyariatkan bagi mereka hukum agama yang tidak alloh izinkan, yaitu membuat bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan Alloh[15] .
Karena itulah sebagian ulama[16] biasa membawakan ayat ini sebagai dalil keharaman bid’ah-bid’ah – yang merupakan pensyariatan perkara-perkara baru yang disangka oleh pelakunya bahwa ia termasuk agama dan dijadikan ibadah kepada Alloh -, dari sini jelaslah kesalahan orang-orang yang berdalil dengan ayat ini dalam pengkafiran orang yang membuat hukum-hukum selain hukum Alloh.Sisi kesalahan istidlal mereka adalah bahwa ayat ini mengkafirkan orang yang mengumpulkan dua sifat yaitu membuat hukum dan anggapan ia termasuk agama, inilah yang disebut tabdil – akan datang bahasannya -, adapun membuat hukum saja  tanpa menganggapnya termasuk agama maka ayat ini tidak menceritakan kekafirannya.Perhatikanlah ini !.
3.pemerintah menyamakan hukum selain Alloh dengan hukum Alloh Jalla Jalaluhu : dan ini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
﴿ فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ﴾
Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah ( QS. Nahl : 74 )

﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْء ٌ ﴾
Artinya : tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia ( QS. Syuraa : 11 )
﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً ﴾
Artinya :  Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ( QS.Maryam : 65 )
﴿ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَاداً
Artinya : karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan - tandingan bagi Allah  ( QS. Al Baqoroh : 22 )
4.pemerintah mengutamakan hukum selain Alloh  di atas hukum Alloh Subhanahu Wa Ta’ala : dan ini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama. Karena yang ini lebih parah dari sebelumnya, dan mendustakan kitab Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.Alloh Ta’ala berfirman :
﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾ 
Artinya : dan ( hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? ( QS.Al Maidah : 50 )
5.pemerintah menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan dengan keyakinan bahwa itu adalah hukum Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, ini adalah kufur akbar secara ijma.Alloh berfirman :
﴿ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ﴾
Artinya :  Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ( QS. Syuraa : 21 )
Sehingga mereka mengumpulkan antara tasyri’ dan anggapan bahwa itu termasuk agama.Inilah yang disebut “tabdil” ( merubah ).
Setelah kita petakan permasalahan yang diperselisihkan, saya akan berpindah kepada apa yang banyak  diperselisihkan yaitu jika pemerintah menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan karena hawa nafsu dan syahwat dengan melegalisasi undang-undang yang ia buat sendiri atau mengadopsi undang-undang yang telah dibuat sebelumnya dengan masih mengakui dirinya bermaksiat dan menyelisihi perintah Arrahman Subhanahu , apakah pemerintah yang seperti ini menjadi kafir murtad dari agama ? Saya akan bawakan masalah ini dalam bentuk dialog agar lebih mudah memahami dalil.Yang tidak mengkafirkan saya sebut Mufassiq ( S ), dan yang mengkafirkan saya sebut Takfiry ( T ).
S : Hukum asal dalam maksiat dan dosa adalah tidak kafir kecuali dengan adanya dalil syar’iy khusus, jika Anda dapat menyebutkan dalil yang menunjukkan pengkafirannya dan jika saya tidak dapat menjawab maka tidak ada jalan lain kecuali saya akan berpendapat dengan pendapat Anda.Dan cukup bagi saya satu dalil saja yang shahih dari sisi tsubut ( sanad ) dan dilalah ( matan ).Namun jika tidak shahih tsubut atau dilalah, maka wajib bagi Anda untuk rujuk kepada hukum asal  yaitu tidak mengkafirkan walaupun kita sepakat bahwa orang semacam ini terjatuh dalam dosa yang berbahaya ; cukuplah menunjukkan bahaya dosa ini ketika syariat menamakan pelakunya sebagai orang kafir yang diperselisihkan apakah dia sudah keluar dari islam atau belum .
T : Saya memiliki banyak dalil yang bermacam baik dari AlKitab, Sunnah, Ijma dan akal yang menunjukkan kekufuran ini akbar.Hendaknya kita bahas satu persatu, jika telah kita dapatkan satu dalil yang Anda terima tsubut dan dilalahnya maka kita cukupkan diskusi karena tujuan telah tercapai, karena Anda tadi sebutkan bahwa satu dalil saja cukup untuk menetapkan apa yang saya kehendaki .
S : Silakan sebutkan dalil Anda .
T : Dalil yang pertama firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
Sisi pendalilannya adalah : Alloh telah menghukumi bahwa siapa saja yang tidak  menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan bahwa dia orang kafir, disebut kafir hanya dengan sebab dia menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan tanpa dikaitkan dengan keyakinan, ini menunjukkan bahwa illat hukum ini adalah sekedar dia tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan.Dan Anda tidak berhak membawa makna kafir di sini kepada kufur ashghar karena Al Hafidz Al Imam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa setelah beliau meneliti dengan seksama seluruh dalil- dalil syariat bahwa kekufuran yang disebut dengan makrifat selalu menunjukkan kepada kufur akbar[17], kemudian beliau dan selainnya  juga menyebutkan bahwa hukum asal kekufuran jika disebut secara mutlak maka kufur akbar kecuali jika ada dalil lain.Karena hukum asal dalam lafadz jika dimutlakkan dalam Kitab dan Sunnah berarti menunjukkan maksudnya secara mutlak dan hakikatnya secara mutlak dan sempurna[18].
S : Anda telah menyebutkan tiga argumen :
1.syariat mengaitkan hukum hanya dengan sekedar menghukumi tanpa melihat keyakinan
2.bahwa lafadz jika dimutlakkan dalam syariat selalu menunjukkan makana yang sempurna kecuali jika ada dalil
3.bahwa Ibnu Taimiyah meneliti lafadz kufur dalam syariat dan beliau jelaskan bahwa itu selalu menunjukkan kufur akbar bukan ashghar.
Jawaban untuk argumen pertama adalah sebagai berikut :
Saya tidak berbeda dengan Anda bahwa syariat mengaitkan hukum ini dengan sifat “kafir “ dengan sekedar menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan tetapi saya katakan bahwa kufur di sini ashghar bukan akbar karena dalil-dalil berikut ini :
1.bahwa mengambil keumuman ayat ini memberi konsekuensi pengkafiran seluruh muslimin dalam segala keadaan yang ia tidak berbuat adil antara dua orang, sampai seorang ayah terhadap anak-anaknya, bahkan antara seorang dengan dirinya sendiri jika ia berbuat maksiat kepada Rabb-nya ; karena kenyataanya ketika seorang bermaksiat kepada Rabb-Nya berarti ia tidak menghukumi / memutuskan dengan apa yang Alloh turunkan untuk dirinya sendiri[19].Sisi konsekuensi ini adalah karena lafadz من / barangsiapa adalah umum mencakup setiap orang yang berilmu[20] dan yang awam.Dan yang tidak adil antara anak-anaknya juga masuk dalam keumuman “ barangsiapa”, dan permasalahan yang ia tidak berbuat adil masuk dalam keumuman ما / apa saja.
Maka dalil-dalil yang menunjukkan tidak kafirnya orang semacam ini dan juga pelaku maksiat telah memalingkan ayat tadi dari kufur akbar kepada kufur ashghar, karenanya para ulama berijma untuk tidak mengambil keumuman ayat ini, sebab kaum khawarij  yang berpegang dengan keumuman ayat ini untuk mengkafirkan pelaku maksiat dan dosa dan mereka tidak menoleh kepada dalil-dalil lain yang memalingkan dari kufur akbar.
Berkata Ibnu AbdulBarr : dan telah sesat satu kelompok ahli bid’ah dari kalangan Khawarij dan Mu’tazilah dalam masalah ini, mereka berhujjah dengan ayat-ayat dalam kitabullah yang makananya tidak seperti dzahirnya , seperti firman-Nya Ta’ala ;
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )[21]
Beliau berkata : para ulama telah berijma bahwa kedzaliman dalam menghukumi termasuk dosa besar bagi yang sengaja melakukannya lagi mengetahuinya[22].
Berkata Muhammad Rasyid ridha : ‘ adapun dzahir ayat ini maka tidak diambil oleh seorang pun dari para imam fikih yang terkenal, bahkan tidak diucapkan seorang pun[23].
Mungkin beliau tidak memandang Khawarij juga berpegang kepada dzhir ayat ini karena mereka tidak mengkafirkan pelaku dosa kecil padahal dzahir ayat ini mencakup sampai dosa kecil .
Berkata Al Ajjury : dan termasuk ayat mutasyabihat yang diikuti Haruriyah ( khawarij ) adalah firman Alloh Azza Wa Jalla :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
Mereka mengkaitkan dengan :
﴿ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ﴾
Artinya : Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.( QS. Al An’am : 1 ).
Lalu jika mereka melihat imam / penguasa memutuskan dengan selain kebenaran mereka berkata ; dia telah kafir, dan siapa yang kafir berarti mempersekutukan Tuhan berarti dia musyrik, maka para pemimpin itu orang-orang musyrik, lalu mereka memberontak dan melakukan apa yang kau telah lihat ; karena mereka mentakwilkan ayat ini[24].
Berkata Al Jashash : kaum khawarij telah mentakwilkan ayat ini untuk mengkafirkan  siapa pun yang meninggalkan berhukum dengan apa yang Alloh turunkan tanpa adanya juhud / penentangan[25].
Berkata Abu Hayyan ; kaum khawarij berhujjah dengan ayat ini untuk memvonis bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Alloh Ta’ala adalah kafir, dan mereka mengatakan ini adalah nash bahwa setiap orang yang memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan adalah kafir[26].
Lihatlah ,semoga Alloh menjaga Anda, banyak perkataan ulama umat ini yang mencela mengambil keumuman ayat itu dan bahwa itulah madzhab khawarij, maka berhati-hatilah.
2.bahwa telah tsabit dari Turjumanulquran ( Ibnu Abbas ), pentafsiran ayat ini dengan kufur ashghar bukan akbar dan kita tidak berhak menyelisihinya.
T : saya tidak sependapat dengan Anda tentang keshahihan berdalil dengan atsar ibnu abbas, baik dari sisi sanad maupun matan.
Adapun secara sanad maka apa yang datang dari Ibnu Abbas berupa penegasan kufur ashghar tidaklah tsabit seperti ucapan ;
كفر لا ينقل من الملة
 ( kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama )
, atsar ini diriwayatkan Ibnu Nashr[27] dari jalan Abdurrozaq dari Sufyan dari seseorang dari Thawus dari Ibnu Abbas, didalam sanadnya ada seorang yang mubham / tidak jelas dan ini termasuk majhul ( tidak diketahui ) , sedangkan riwayat majhul adalah dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah.Seperti juga ucapannya radhiyallohu anhu ;
ليس بالكفر الذي تذهبون إليه
( bukan kekufuran yang kalian fahami )
Diriwayatkan Ibnu Nashr[28] dari jalan Ibnu Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas, sedang Hisyam bin Hujair telah didhaifkan oleh Yahya Al Qathan dan Ibnu Main dan selainnya.Sehingga atsar ini dhaif.Juga seperti ucapannya radhiyallohu anhuma :
كفر دون كفر
( kekufuran dibawah kekufuran )
Dikeluarkan oleh Al Hakim dari jalan Ibnu Uyainah dari Hisyam bin hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas, atsar ini dhaif karena Hisyam bin Hujair dhaif.
Adapun yang tsabit dari Ibnu Abbas dalam tafsir ayat itu adalah :
هي به كفر
( itu adalah kekufuran padanya )
Sebagaimana diriwayatkan Abdurrozaq[29] dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, maka tidak sharih menunjukkan kufur ashghar.Sebab dapat dibawa kepada kufur akbar, ini semisal dengan yang diriwayatkan Thobary dalam tafsirnya dari jalan Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, ucapan beliau :
هي به كفر و ليس كفرا بالله و ملائكته و كتبه و رسله
( itu adalah kekufuran padanya tetapi bukan kufur kepada Alloh dan malaikat-Nya dan kitab-Nya dan Rasul-Nya )
S : apa yang Anda sebutkan dari pembahasan sanad , saya sepakat.Namun sandaran saya bukan pada dua atsar yang dhaif ini, melainkan seperti ini : dua atsar yang shahih dari Ibnu Abbas ini  masih mengandung kemungkinan kufur ashghar atau akbar, saya merajihkan ia adalah kufur ashghar karena tiga hal :
a.bahwa murid-murid Ibnu Abbas seperti Thawus  menegaskan bahwa maksud ayat itu adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama dengan sanad yang shahih diriwayatkan Ibnu Nashr[30] dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya.maka ini menguatkan sisi kemungkinan maksud kufur ashghar, yang dapat dikategorikan dzann ghalib ( dugaan kuat ), dan ini cukup dalam istidlal.Sebab ucapan murid-murid seseorang menunjukkan ucapannya, bahkan riwayat ucapan seorang dapat dianggap bemasalah dan didhaifkan jika ucapan murid-muridnya menyelisihi , seperti yang dilakukan Yahya bin Said dalam mendhaifkan riwayat ucapan Ibnu Mas’ud, karena murid-muridnya berpendapat yang menyelisihi riwayat tersebut[31].
b.saya tidak mengetahui seorang pun dari ulama terdahulu yang membawakan pendapat lain dari Ibnu Abbas dengan berdasar riwayat ini.Yang ada hanyalah yang menyandarkan kepada beliau pendapat lain berdasar apa yang diriwayatkan bahwa beliau menafsirkan ayat ini dengan juhud ( penentangan ) dan sanadnya dhaif.Kemudian, termasuk yang menguatkan tidak mungkin Ibnu Abbas bermaksud kufur akbar, adalah fitnah khawarij yang terjadi di zaman beliau, dimana mereka berpegangan dengan ayat ini dalam mengkafirkan, dan beliau berdebat dengan mereka.Maka mentafsirkan ayat ini dengan makna kufur akbar tidak ada gunanya dalam membantah mereka.Perhatikan ini, semoga Anda ditunjuki ke jalan lurus.


c.bahwa riwayat dhaif yang menegaskan kufrun duna kufrin, kedhaifannya tidak parah.Karena sebagian ulama ada yang mentsiqahkan Hisyam bin Hujair sehingga menguatkan penjelasan makna atsar yang shahih, dan bahwa yang dimaksud adalah kufur ashghar[32].
T : Anda telah menjawab hujjah pertama , apakah jawaban Anda terhadap hujjah kedua ?
S : Anda telah menjadikan hukum asal kufur adalah akbar kecuali jika ada dalil yang memalingkannya, saya telah sebutkan dalil yang memalingkannya dari akbar ke ashghar yaitu pemahaman shahabat, ini yang pertama.Yang kedua ; setiap dalil yang menunjukkan tidak kafirnya seorang yang berbuat dzalim antara dua orang dan tidak berbuat adil, bahkan yang mendzalimi orang lain secara mutlak, juga apa yang disebutkan Ibnu AbdilBarr yaitu ijma bahwa kedzaliman dalam memutuskan hukum bukan kekufuran tetapi dosa besar di antara kaba’ir lain.
T : Apa jawaban Anda terhadap hujjah ketiga ?
S : Jawabannya dari dua sisi :
a.penelitian Ibnu Taimiyah dalam lafadz الكفر adalah jika berbentuk mashdar , sedang yang ada dalam ayat ini bukan mashdar melainkan isim fa’il.Tentu keduanya berbeda sebab mashdar menunjukkan peristiwa saja, adapun isim fa’il maka ia menunjukkan peristiwa dan pelaku, seperti yang dijelaskan Al Allamah Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahulloh[33].
Termasuk yang menunjukkan bahwa penelitian tersebut adalah dalam bentuk mashdar dan bukan isim fa’il, adalah bahwa beliau sendiri sendiri menjadikan makna ayat ini kufur ashghar, beliau rahimahulloh berkata : dan jika perkataan salaf ; sesungguhnya seseorang bisa terdapat padanya iman dan nifaq, maka demikian pula ucapan mereka :; bisa terdapat padanya iman dan kufur, namun bukan kufur yang mengeluarkan dari agama, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abbas dan murid-muridnya dalam firman Alloh ( yang artinya ) : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 ), mereka berkata : mereka kafir dengan kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama, dan ini diikuti oleh Ahmad bin Hanbal dan selainnya dari para imam sunnah[34].
b.jika dianggap bahwa penelitian Ibnu Taimiyah mencakup isim fa’il, maka akan dijawab bahwa penelitian Ibnu Taimiyah ini kurang lengkap tidak sempurna karena ayat ini mengandung lafadz kufur yang makrifah namun bermakna kufur ashghar bukan akbar karena dalil-dalil tersebut di atas.
Setelah saya menjawab ketiga hujah Anda, dan menetapkan bahwa ayat ini  dibawa pengertiannya pada kufur ashghar, saya ingin menolehkan perhatian Anda –Wahai teman -, bahwa ayat ini bisa dibawa pengertiannya kepada kufur akbar yaitu bagi yang merubah hukum Alloh dengan hukum selain-Nya.Sebagian orang tidak mengerti makna kata “tabdil “ ( merubah ), sehingga dikira mencakup setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh.Padal kata tabdil dalam istilah para ulama adalah meletakkan hukum yang bukan hukum Alloh dengan menganggapnya sebagai hukum Alloh, adapun yang membuat hukum selain hukum Alloh tetapi tidak menganggapnya sebagai hukum Alloh maka dia buka orang yang merubah ( tabdil ).
Berkata Ibnul Araby : hal ini berbeda ; jika membuat hukum dari sisinya lalu dianggap itu dari sisi Alloh maka ini adalah tabdil yang menyebabkan kufur[35].
AlQurthuby[36] juga mengatakan yang demikian , juga Ibnu Taimiyah mengisyaratkannya, beliau berkata : lafadz syara’ dalam istilah ulama dibagi menjadi tiga makna :
Syara’ Al munazzal : yaitu apa yang dibawa oleh Rasul Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam, ini wajib diikuti dan yang menyelisihinya wajib dihukum
Syara’ Al Mu’awwal : yaitu pendapat para ulama mujtahidin seperti madzhab Malik dan semisalnya.Ini boleh diikuti, tidak wajib dan tidak haram, dan tidak ada hak bagi seorang untuk memaksakan manusia untuk mengikuti, juga untuk meninggalkan.
Syara’ Mubaddal : yaitu kedustaan atas Alloh dan Rasul-Nya atau atas manusia dengan persaksian palsu dan sejenisnya dari kedzaliman yang jelas,  barangsiapa mengatakan sungguh ini dari syariat Alloh maka dia kafir tanpa ada perselisihan.Seperti yang mengatakan darah dan bangkai itu halal – walau pun ia mengatakan ini madzhabku- dan yang semisalnya[37].
Perhatikanlah, beliau menjadikan Syara’ Mubaddal adalah kedustaan atas Alloh dengan sangkaan bahwa itu dari syariat Alloh bukan merubah hukum secara mutlak.
Dan sabab nuzul ayat ini yang diriwayatkan Muslim dari hadits Bara bin Azib adalah tabdil, karena Yahudi mengira bahwa mereka mendapati hukuman zina dalam kitab mereka adalah Tahmim ( dihitami dan diarak ), padahal sesungguhnya hukuman zina dalam kitab mereka adalah Rajam tetapi mereka merubahnya ke Tahmim dengan mengklaim bahwa tahmim adalah hukum  yang diturunkan Alloh.Maka ayat ini bisa dibawa kepada kufur ashghar sebagaimana yang lalu atau kufur akbar bagi yang melakukan tabdil.
Berkata Ibnu Taimiyah : dan seseorang kapan dia menghalalkan yang haram yang disepakati atau mengharamkan yang disepakati kehalalannya, atau mentabdil ( merubah 0 syariat yang disepakati maka ia kafir murtad dengan kesepakatan fuqoha.Dan pada hal seperti ini turun firman Alloh menurut satu dari dua pendapat ( yang artinya ) : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 ) yakni yang menghalalkan berhukum dengan selain yang Alloh turunkan[38].
Faidah :Sering sekali disebutkan oleh ulama dalam perkataan mereka terlebih Al Imam Ahmad bin Taimiyah rahimahulloh bahwa yang tidak beriltizam terhadap ini maka dia kafir.Maka sebagian mereka memahami makna tidak iltizam adalah terus menerus meninggalkan yang wajib atau terus menerus melakukan yang haram, pemahaman ini adalah salah, dan merupakan satu langkah dari langkah-langkah syaithan untuk menjadikan mereka berpemikiran khawarij dalam pelaku dosa besar.Hal ini terbantah dari beberapa sisi :
1.penjelasan makna “tidak iltizam” dari perkataan ulama terlebih Imam Ahmad bin Taimiyah rahimahulloh bahwa hal itu tidak sinonim dengan meninggalkan dengan terus-menerus seperti yang dibayangkan sebagian mereka.Beliau berkata : pengkafiran orang yang meninggalkan shalat adalah pendapat yang masyhur diriwayatkan dari Jumhur Salaf dari shahabat dan Tabi’in.Titik ikhtilaf adalah pada seorang yang masih mengakui kewajibannya dan beriltizam melakukannya tetapi tidak melakukannya[39].
Perhatikanlah ucapan beliau “beriltizam melakukannya tetapi tidak melakukannya “ menunjukkan bahwa makna iltizam bukan berarti terus-menerus melakukan, karena dimungkinkan ada seorang yang masih beriltizam dengannya namun tidak melaksanakannya.Maka iltizam yang dijadikan dasar atas kekufuran yang meninggalkannya adalah perkara yang bersifat aqidah hati bukan perbuatan ; karena itulah Ibnu Taimiyah ketika hendak mengungkapkan iltizam fi’ly beliau mengaitkannya dengan sifat fi’ly kemudian tidak menjadikannya sebagai yang dengan sendirinya mengkafirkan namun karena perkara lain yang bersifat akidah , beliau berkata –setelah nukilan di atas- : “ dan tidak menentang kewajibannya , akan tetapi ia enggan dari beriltizam dalam melakukannya karena  sombong atau hasad atau benci kepada Alloh dan Rasul-Nya, yang dia berkata : aku mengetahui bahwa Alloh mewajibkannya atas muslimin, dan rasul benar dalam menyampaikan Al Quran, tetapi ia enggan dari iltizam atas perbuatan itu karena sombong atau hasad kepada Rasul atau fanatisme terhadap agamanya, atau benci kepada apa yang dibawa Rasul, maka ini juga kekufuran secara kesepakatan.Karena sesungguhnya iblis saat meninggalkan sujud yang diperintahkan padanya tidak menentang kewajiban tersebut, karena Alloh yang langsung mengatakan di hadapannya, hanya saja ia enggan dan sombong dan jadilah ia termasuk kaum yang kafir ”.
Maka perhatikanlah bahwa beliau tidak menjadikan meninggalkan iltizam dengan perbuatan sebagai hal yang menyebabkan kafir dengan sendirinya, namun karena disertai keyakinan yang kufur yaitu sombong dan hasad atau benci kepada Alloh dan Rasul-Nya.
Dengan ini menjadi sangat jelas bahwa meninggalkan iltizam bukan sekedar meninggalkan perbuatan walaupun terus-menerus, akan tetapi meninggalkan keyakinan, jika ditanyakan : jadi, apakah makna “ tidak iltizam” ?
Jawab : maknanya adalah meninggalkan apa yang diperintahkan karena dorongan akidah kufur seperti enggan/menolak dan sombong demikian...bersamaan ia masih meyakini wajibnya atas dirinya dan atas muslimin sebagaimana terdapat dalam ucapan Ibnu Taimiyah di atas –tadi- :akan tetapi ia enggan dari beriltizam atas perbuatan itu karena sombong atau hasad atau benci kepada Alloh dan Rasul-Nya.Lalu beliau memberikan contoh iblis dalam hal tidak beriltizam dalam keadaan ia meyakini kewajiban taat kepada Alloh atas dirinya tetapi meninggalkan karena enggan dan sombong[40].
2.konsekuensi pernyataan mereka bahwa termasuk hal menyebabkan kekafiran menurut ahlisunnah adalah terus-menerus di atas maksiat baik meninggalkan kewajiban maupun melakukan keharaman, darimanakah kaidah ini ? bukankah pernyataan ahlisunnah yang tertulis dalam kitab-kitab akidah bahwa seorang dari ahli kiblat tidak dapat dikafirkan karena dosa selama tidak menghalalkannya ?[41], yang menjadi bantahan bagi khawarij yangmengkafirkan dengan dasar melanggar dosa besar.
3.konsekuensi pernyataan mereka adalah bahwa orang yang terus menerus melakukan maksiat dengan melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban adalah kafir.Dan ini menyelisihi apa yang tsabit dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata : tidak ada dosa kecil jika terus – menerus dan tidak ada dosa besar jika disertai istighfar, dikeluarkan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir dalam tafsir keduanya terhadap surat Annisa.Masuk dalam ucapan beliau ini meninggalkan apa yang diperintahkan dan melakukan apa yang dilarang.
4.tidak ada dalil dari Kitab dan Sunnah dalam mengkafirkan dengan sekedar terus-menerus melakukan dosa, sedangkan takfir adalah hak Alloh dan Rasul-Nya Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam yang tak boleh dicampuri oleh emosi atau semangat, bahkan dalil-dalil menunjukkan tidak kafirnya orang yang terus-menerus melakukan dosa ( dibawah syirik ) seperti hadits bithoqoh ( kartu tauhid ) dan yang lainnya.
Karena itulah kita harus waspada dari langkah syaithan ini supaya kita tidak terseret mengikutinya.
T : ada atsar tsabit dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallohu anhu tentang risywah, maka beliau menjawab : termasuk assuht ( yang haram ), ia berkata : mereka berdua bertanya : apakah dalam hukum ? beliau menjawab : itu adalah kekufuran, lalu beliau membaca firman Alloh ( yang artinya ) : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 ), dikeluarkan oleh Thabary dalam tafsirnya.Maka ini meninjukkan pengkafiran dengan sekedar perbuatan menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan.
S : jika Anda memperhatikan atsar Ibnu Mas’ud ini sebentar saja niscaya Anda akan mengetahui bahwa itu tidak menunjukkan pada apa yang Anda inginkan dan tidak dapat dijadikan dasar, karena dua sisi :
1.bahwa mengambil dzahir ucapan itu memberi konsekuensi kufur akbar bagi orang yang menerima risywah ( sogokan ) supaya menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan pada satu masalah.Dzahir seperti ini tidak dikatakan oleh seorangpun, dan tentu saja bukan maksud dari ijma-ijma yang dinukil di atas dari Ibnu AbdilBarr dan selainnya yang berisi bahwa ini pendapat khawarij saja.
2.bahwa Ibnu Mas’ud tidak menjelaskan kekufuran apakah yang dimaksud ; yang akbar atau ashghar.Adapun atsar Ibnu Abbas maka jelas bahwa maksud beliau adalah kufur ashghar bukan akbar.Maka tidak benar jika menetapkan khilaf antar  shahabat dengan sesuatu yang masih dzan/ persangkaan, karena hukum asalnya mereka tidak berselisih karena khilaf antara mereka sangatlah sedikit.
T : sesungguhnya Anda – wahai saudaraku – membawakan ucapan ulama dari shahabat dan yang setelahnya yang menunjukkan ini adalah kufur ashghar, padahal para ulama tersebut berbicara dalam fakta kasus yang bukan fakta yang terjadi zaman kita sebab pembabatan syariat islam secara keseluruhan tidak terjadi selain akhir-akhir ini maka tidak benar membawa ucapan mereka untuk fakta yang kita hadapi sekarang.Perhatikanlah ini.
S : jika Anda – wahai saudaraku – tidak berpandangan untuk berdalil dengan ayat itu dan ucapan salaf dalam masalah yang kita diskusikan karena permasalahan kontemporer, maka berarti juga tidak boleh Anda berdalil dengan ayat ( yang artinya ) : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 ) untuk menetapkan kekafiran orang yang terjatuh dalam masalah berhukum dengan selain yang Alloh turunkan di zaman-zaman akhir ini, dengan mereka membuat Undang-undang yang sedang kita bahas, sadarilah.Karena ayat ini dengan pemahaman shahabat dan tabi’ien sampai dengan ucapan Anda  sendiri adalah bagi seorang yang menyelisihi dalam sebagian kejadian sehingga tidak keluar dari kufur ashghar.
T : Saya mempunyai dalil kedua yaitu firman Alloh Ta’ala :
﴿ فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ  ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ( QS . Annisa : 65 ).
Sisi pendalilannya adalah : bahwa  asal dalam penafian di sini adalah penafian pokok iman, dari sana jadilah hakim yang memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan menjadi kafir  kufur akbar hanya sekedar dengan perbuatannya itu, karena iman telah dinafikan darinya, kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dinafikan adalah kamal / kesempurnaan iman yang wajib seperti ucapan Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam : “ tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada anak, ayah dan seluruh manusia “ ( mutafaq alaih  dari hadits Anas dengan lafadz Imam Muslim ), dan saya tidak mengetahui dalil yang memalingkan makna ayat ini kepada kesempurnaan iman yang wajib.
S : Jazakallohu khairan karena anda telah men-ta’shil dengan sangat baik.Saya memiliki banyak dalil yang menunjukkan bahwa iman yang dinafikan di sini adalah kesempurnaan iman yang wajib bukan pokok iman, di antaranya adalah :
1.sebab turun ayat ini adalah apa yang diriwayatkan Bukhary dan Muslim dari Abdullah bin Zubair bahwa ada seorang dari Anshar bertikai dengan Zubair di sisi Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tentang Syirajul harrah..., didalamnya diceritakan bahwa orang Anshar tersebut tidak ridha dengan hukum Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam lalu ia marah sambil berkata ; karena ia anak bibimu..., maka berkata Ibnu Zubair : Demi Alloh, saya yakin ayat ini turun dalam masalah itu.
Sisi pendalilannya adalah ; bahwa ia mendapati diri orang Anshar ahli badr itu merasa berat dan tidak menerima dengan sepenuh hati terhadap hukum Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam, namun ia tidak kafir, dikuatkan ketidakkafirannya karena ia seorang ahli badr, sedangkan shahabat yang mengikuti perang badar telah diampuni dosa mereka sebagaimana dalam hadits Aly ra dalam kisah Hatib ketika Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : tidak tahukah engkau bahwa Alloh telah melihat ahli badar lalu berfirman : lakukanlah apa saja yang kalian kehendaki karena Aku telah mengampuni kalian[42].Sedangkan kufur akbar tidak akan diampuni.Maka ini menunjukkan bahwa ahli badar terjaga dari menjadi orang kafir, ditegaskan ini oleh Ibnu Taimiyah[43].Kemudian juga Rasululloh tidak memerintahkannya kembali berislam.
2. diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Abu Said AlKhudry berkata Aly bin Abu Thalib ketika di Yaman pernah mengirimkan batangan emas yang kemudian dibagi antara empat orang.Lalu ada seorang laki-laki berkata : wahai Rasululloh, bertaqwalah kepada Alloh, lalu Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam menjawab : bukankah aku penduduk bumi yang paling berhak untuk ( disebut ) bertakwa kepada Alloh ? maka berkata Khalid bin Walid ; wahai Rasululloh, izinkan aku memenggal lehernya.Berkata Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam : jangan, siapa tahu ia masih shalat”, berkata Khalid : betapa banyak orang yang shalat namun berkata dengan lisannya apa yang tidak ada di hatinya .Maka bersabda Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam : “ sesungguhnya aku tidak diperintah untuk menyingkap apa yang ada di hati-hati manusia dan tidak pula diperintah untuk merobek perut-perut mereka “ ( alhadits )
Sisi pendalilannya : bahwa orang ini melawan hukum Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dan tidak ridha serta menerima, dan ada keberatan pada jiwanya, akan tetapi Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tidak mengkafirkannya dan melarang membunuhnya dengan alasan kekhawatiran jika ia masih mengerjakan shalat.Jika apa yang dilakukan adalah perkara kufur tentu shalatnya tidak bermanfaat baginya, karena syirik dan kufur akbar membatalkan amalan, yang tak akan bermanfaat shalat bersama keduanya.
Dan juga yang menunjukkan bahwa orang tadi tidak terjatuh pada perkara kufur di sisi Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam adalah tatkala Khalid hendak mengarahkan pembicaraan tentang kufur yang tersembunyi di hati, hal ini tidak diridhai oleh Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam.Jika perkataan orang itu adalah kufur tentu Khalid akan berpegangan dengannya dan tentu Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tidak akan bersabda : “aku tidak diperintah untuk menyingkap apa yang ada di hati-hati manusia..” , karena ucapan yang dianggap kekufuran ini telah keluar darinya.Dan termasuk yang menjelaskan bahwa kalimat ini bukan kekufuran adalah apa yang tsabit dalam Shahihain dari Aisyah bahwa istri-istri Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mendatangi beliau dan menuntut keadilan dalam perkara anak perpempuan Abu Quhafah, dan ini tidak dianggap kekufuran dari mereka.
3.Diriwayatkan Bukhary dan Muslim dari Anas bin Malik bahwa ada sekelompok orang dari Anshar yang berkata tatkala Alloh memberikan Fai’ kepada Rasul-Nya di perang Hunain dari harta Bani Hawazin, saat  Rasululloh  Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mulai membagi untuk beberapa orang dari Quraisy seratus onta, mereka berkata ; Semoga Alloh mengampuni Rasululloh karena ia telah memberi Quraisy padahal pedang-pedang kami masih mengucurkan darah mereka ( kafir Quraisy ).Dalam satu riwayat ; ketika terjadi Fathu Makkah beliau membagi ghanimah untuk Quraisy, maka berkatalah Anshar : “ sungguh ini sangat aneh karena pedang-pedang kami masih mengucurkan darah mereka..”.
Sisi pendalilannya : bahwa mereka semua mengingkari perbuatan Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dan mendapati dalam diri mereka keberatan namun Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tidak mengkafirkan mereka.
Karena itulah Ibnu Taimiyah berkata : maksudnya di sini adalah apa yang Alloh dan Rasul-Nya  nafikan dari penamaan nama perkara yang wajib seperti iman dan islam, dien, shalat, shiyam, thaharoh dan haji serta selainnya adalah karena meninggalkan sesuatu yang wajib dari nama itu.Termasuk hal ini adalah firman Alloh Ta’ala ( yang artinya ) : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya ( QS . Annisa : 65 ). Maka saat dinafikan iman hingga adanya syarat ini menunjukkan bahwa syarat ini adalah wajib atas manusia, barang siapa meninggalkannya maka ia termasuk orang yang terancam...[44].
Berkata Ibnu Taimiyah ; barangsiapa tidak iltizam terhadap berhukum kepada Alloh dan Rasul-Nya pada apa yang mereka perselisihkan maka Alloh telah bersumpah dengan dirinya bahwa orang tersebut tidak beriman.Adapun yang masih iltizam kepada hukum Alloh dan Rasul-Nya dhahir dan batin, tetapi bermaksiat dan mengikuti nafsunya, maka ia berada pada kedudukan yang sama dengannya dari pelaku kemaksiatan.Dan ayat ini : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman.., termasuk yang dijadikan hujjah oleh khawarij untuk mengkafirkan pemerintah yang tidak berhukum dengan yang Alloh turunkan, kemudian mereka meyakini bahwa akidah mereka adalah hukum Alloh.Para ulama telah membicarakan ini dengan panjang lebar yang tidak bisa disebutkan di sini, dan apa yang saya sebutkan tadi ditunjukkan oleh kontek ayat[45].
T : baik , tinggalkanlah istidlal dengan dalil ini, karena saya memiliki dalil yang ketiga yaitu firman Alloh Ta’ala :
﴿ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً ﴾
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut , padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya ( QS. Annisa : 60 ).
Sisi pendalilannya adalah : bahwa merfeka menjadi munafik karena ingin mengambil hukum kepada thaghut dan disebut iman mereka sebagai pengakuan saja.
Berkata Ibnul Jauzi : “ Azza’mu dan azzu’mu keduanya digunakan dan yang paling sering untuk ucapan yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya”[46].
S : sesungguhnya ayat ini kosong dari kaitan dengan pengkafiran apa yang terjadi dalam masalah berhukum dengan selain yang Alloh turunkan, itu karena beberapa sisi :
Sisi yang pertama : ayat ini mengandung dua kemungkinan :
1.iman mereka berubah menjadi pengakuan karena mereka ingin berhukum kepada thaghut dan ini yang Anda pegangi.
2.bahwa termasuk sifat ahli iman palsu – munafikin- adalah ingin berhukum kepada thaghut, sedangkan menyerupai munafikin dalam satu dari sifat mereka tidak memastikan jatuh dalam kekufuran[47].Atas dasar ini kita katakan bahwa seorang yang ingin berhukum dengan selain yang Alloh turunkan berarti telah menyerupai munafikin dalam satu sifat dari sifat-sifat mereka dan ini tidak memastikan jatuh dalam kekufuran kecuali ada dalil lain, seperti yang menyerupai munafikin dalam dusta tidak menjadi kafir, dari sanalah jika banyak muncul kemungkinan dalam satu perkara apakah mengkafirkan atau tidak maka tidak bisa dikafirkan dengan hal itu, karena hukum asal seorang muslim adalah di atas islam.Intinya , pendalilan Anda dengan dalil ini dalam mengkafirkan adalah tidak benar karena termasuk dalil yang mengandung banyak kemungkinan.
Sisi kedua : bahwa mereka menghendaki berhukum kepada thaghut dan ini bukanlah kehendak yang mutlak melainkan kehendak yang menafikan kufur kepada thaghut dengan kufur i’tiqady.dan siapa saja yang tidak meyakini kewajiban kufur kepada thaghut maka tidak ragu lain bahwa ia terjatuh dalam kekufuran akbar.Alloh berfirman :
﴿ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى ﴾
Artinya : Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus.( QS. Al Baqoroh : 156 )
Berkata Ibnu Jarir ; “ mereka ingin berhukum dalam perselisihan mereka kepada thaghut yakni mereka mengagungkannya dan mngikuti ucapannya serta meridhai hukumnya selain hukum Alloh, padahal mereka diperintah untuk mengkufurinya.Ia berfirman bahwa mereka telah diperintah untuk mendustakan apa yang dibawa oleh thaghut yang mereka berhukum padanya sehingga mereka meninggalkan perintah Alloh dan mengikuti perintah syaithan[48].
Jika Anda tidak menerima ini dan tetap memaknainya dengan  mutlak keinginan maka dikatakan sesungguhnya irodah / keinginan di sini masih mengandung kemungkinan maksud seperti apa yang Anda pahami atau yang saya pahami, dan telah saya sebutkan bahwa pengkafiran tidak bisa dilakukan pada perkarta yang masih mengandung kemungkinan- seperti telah lalu penjelasannya-.
T : ada dalil yang keempat yaitu firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
Artinya : dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik ( QS.Al An’am : 121 ).
Sisi pendalilannya adalah : bahwa ketaatan kepada selain Alloh dalam hukum buatan adalah syirik.
S : Ada apa denganmu – Ya akhy – apakah Anda lupa ? bukankah telah dijelaskan bahwa ayat ini kembali pada masalah penghalalan dan pengharaman.Dan janganlah lupa lagi lalu Anda berdalil dengan firman Alloh ( yang artinya ) : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ( QS. Syuraa : 21 ).Telah kita bicarakan dan bahwa maksudnya adalah seorang yang mengumpulkan antara pembuatan syariat atau aturan dan menganggap bahwa aturan itu termasuk agama yang bermuara kepada penghalalan dan pengharaman, inilah yang disebut tabdil.
T : dalil yang kelima firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً
Artinya : dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan ( QS. Al Kahfi : 26 )
S : tunggu sebentar  - ya akhy – apakah mereka yang menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan mengatakan bahwa ini adalah hukum Alloh sehingga mereka menjadi sekutu bagi Alloh dalam menetapkan hukum-Nya Subhanahu Wa Ta’ala ? jika mereka demikian maka tidak ragu bahwa mereka kafir, namun jika tidak demikian maka tidak benar berdalil dengan ayat ini.Perhatikanlah !
Berkata Syaikh Abdurrahman Assa’dy : “ini mencakup hukum kauny qodary ( alam ) dan hukum syar’iy dieny ( agama ).Maka Alloh adalah yang memutuskan pada makhluk-Nya qadha , qadar, penciptaan dan pengaturan mereka dan yang memutuskan pada mereka dalam perintah dan larangan, pahala dan hukuman...[49].
Hukum Alloh yang kauny pasti terjadi apakah Alloh mencintai atau tidak mencintainya seperti iradah kauniyah. Dan ini tanpa ragu lagi tidak ada seorang pun yang mampu menyaingi Alloh.Dan barang siapa meyakini bahwa ada seorang yang menyaingi Alloh dalam hal ini maka telah terjatuh dalam syirik akbar karena telah menyamakan selain Alloh dengan Alloh dalam perkara yang khusus bagi Alloh, dan ini merupakan syirik dalam rububiyah.
Adapun hukum  syar’iy maka jika yang dimaksud adalah penghalalan dan pengharaman maka tidak ragu bahwa ini kufur sebagaimana telah lalu, namun jika yang dimaksud adalah menyelisihi perintah Alloh namun masih mengakui kesalahan maka ini tidak ragu pula kita katakan bukan kufur sebagaimana dosa-dosa yang lain.Karena jika tidak demikian , berarti kita sama dengan khawarij yang mngkafirkan dengan dasar dosa besar.Karena inilah – wahai temanku –tidak benar kalau Anda berdalil dengan ayat ini .
T : dalil keenam : firman Alloh Ta’ala :
﴿ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
Artinya : keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. ( QS.Yusuf : 40 )
Sisi pendalilannya adalah : bahwa mereka yang membuat undang-undang telah menandingi Alloh dalam perkara khusus bagi-Nya Subhanahu sehingga termasuk syirik akbar.
S : pembahasan mengenai dalil ini adalah sama dengan bahasan dalil sebelumnya.Sebab hukum di sini mencakup hukum kauny qadary dan hukum syar’iy dieny.Berkata Ibnu Taimiyah : “ terkadang berkumpul antara dua hukum – yaitu kauny dan syar’iy – seperti pada firman-Nya Ta’ala (yang artinya ) : keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. ( QS.Yusuf : 40 )”[50].
Berkata Syatiby : “ dan mungkin tersembunyi dalam bab ini madzhab khawarij yang berpendapat bahwa tidak boleh membuat hukum sama sekali dengan berdalil firman-Nya Ta’ala (yang artinya ) : keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. ( QS.Yusuf : 40 ) karena datang dalam bentuk lafadz umum yang tidak dapat dikhususkan, karena itulah mereka berpaling dari firman-Nya Ta’ala ( yang artinya ) : maka kirimlah seorang hakam ( pemutus hukum ) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. ( QS.Annisa : 35 ) , dan dari firman Alloh ( yang artinya ) : menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu  ( QS. Al Maidah : 95 ).Kalau saja mereka mengetahui kaidah bahasa arab bahwa lafadz umum terkadang ditujukan untuk khusus, tentu mereka tidak akan tergesa-gesa mengingkari dan tentu akan mngatakan kepada diri sendiri : mungkin lafadz umum ini dikhususkan sehingga mereka mentakwil..[51].
T : Dalil yang ketujuh firman-Nya Ta’ala :
﴿ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُونِ اللَّهِ
Artinya :31. mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah ( QS.Taubah : 31 )
Sisi pendalilannya : bahwa ahli kitab ketika mereka mentaati ulama dan ahli ibadah mereka, Alloh mensifati mereka dengan menjadikan mereka sebagai Tuhan selain Allah .
S : Ketaatan kepada mereka tidak keluar dari dua keadaan :
Yang pertama : mentaati mereka dalam bermaksiat kepada Alloh tanpa penghalalan dan pengharaman, maka ini tentu bukan kekufuran, sebab akan berkonsekuensi pengkafiran kepada seluruh pelaku dosa dan maksiat karena mereka mentaati hawa nafsu dalam bermaksiat kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Yang kedua : mentaati mereka dalam penghalalan dan pengharaman, dan ini tidak diragukan sebagai kufur yang mengeluarkan dari agama sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pemetaan masalah ( tahrir mahallin niza’ )[52].
T : Dalil kedelapan firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
Artinya : tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. ( QS .Syuraa : 10 ).
Sisi pendalilannya : bahwa mereka telah merujuk hukum selain Alloh Subhanahu Wa Ta’ala sehingga menyelisihi apa yang diperintahkan Alloh Jalla Wa ‘Ala.
S : Saya tidak berselisih dengan Anda walau seujung jari bahwa mereka para penguasa yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan berdosa dan terjatuh dalam dosa yang sangat besar, dan bahwa mereka termasuk penyebab kekalahan dan kelemahan umat kita, akan tetapi saya tidak bisa mengkafirkan mereka kecuali dengan dalil ; karena takfir adalah hak Alloh Subhanahu – seperti yang telah ditetapkan -, maksimal yang ditunjukkan dalil ini adalah bahwa mereka wajib kembali kepada Kitabulloh dan Sunnah Rasul-Nya Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam, tidak ada pengkafiran pemerintah secara mutlak saat meninggalkannya dalam ayat ini.
T : Jangan Anda kira – Ya akhy – bahwa diskusi kita telah selesai, saya masih memiliki dalil yang banyak dari sunnah dan ijma dan akal.
Dalil ketujuh : sebab turunnya ayat ( yang artinya ) : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu..( QS. Annisa : 60 ) , berkata Sya’by : dahulu terjadi pertikaian antar seorang munafik dan seorang yahudi.Maka berkata yahudi itu : mari kita berhukum kepada Muhammad – Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam – sebab dia mengetahui bahwa beliau tidak menerima risywah sedang orang munafik berkata ; mari kita berhukum kepada yahudi karena ia tahu bahwa mereka mau mengambil risywah.Lalu mereka sepakat mendatangi dukun di Juhainah lalu keduanya berhukum kepadanya, maka turunlah ayat ( yang artinya ) : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ?..( QS. Annisa : 60 )[53] .
S : Atsar ini tidak benar jika dijadikan dalil baik dari sisi sanad maupun matan.Mungkin saya hanya akan menyebutkan kedhaifan sanadnya.Ini jelas karena Sya’by adalah seorang dari tabi’ien, sehingga atsar ini munqathi’ ( terputus ) yang masuk dalam jenis dhaif .
T : ada sebab nuzul yang lain yaitu bahwa ada dua orang bertikai, maka seorang dari mereka berkata ; mari kita bawa masalah ini kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dan yang lain berkata kepada Ka’ab bin Asyraf, akhirnya mereka datang kepada Umar bin Khatab, maka salah satu dari mereka mengkisahkan kepada Umar, lalu Umar berkata kepada yang tidak ridha kepada Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam : apakah benar begitu ? ia menjawab : ya , lalu Umar memenggal kepalanya dengan pedang dan membunuhnya “.
S : atsar ini juga tidak shahih bahkan lebih dhaif dari yang sebelumnya, karena diriwayatkan dari jalan Al Kalby dari Abu Shalih Badzam dari Ibnu Abbas[54], sanad ini mengandung perawi kadzab ( pendusta ), matruk ( ditinggalkan ), dan inqitha’ ( terputus ).
T : masih ada sebab nuzul lain[55] dari Ibnu Abbas berkata dahulu Abu Burdah Al Aslamy adalah seorang dukun yang memutuskan perkara bagi yahudi dalam pertikaian antara mereka.Lalu ada sekelompok orang dari muslimin yang bertikai dan mendatanginya, maka Alloh Ta’ala turunkan ayat ( yang artinya ) : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman ..( QS. Annisa : 60 ).
Al Haitsamy berkata : rijal atsar ini adalah perawi kitab shahih[56].
Al Hafidz berkata : sanadnya jayyid[57].
Syaikh Muqbil Al Wadi’iy[58] berkata : saya tidak mendapati biografi guru Thabrany, tetapi ia memiliki mutaba’ah Ibrahim bin Said Al Jauhary menurut Al Wahidy .
Dengan ini jelaslah keshahihan sanadnya, apakah jawaban Anda ?
S : Saya menerima keshahihan atsar ini tetapi saya tidak menerima kandungannya dalam pembahasan kita karena sebagai berikut :
1.bahwa mereka yang mendatangi Abu Burdah adalah munafikun sebagaimana ditunjukkan oleh konteks ayat, jadi ayat ini menunjukkan satu sifat dari sifat-sifat mereka, bukan berhukumnya mereka yang menjadi sebab dikatakan “yang mengaku dirinya telah beriman “, tetapi mereka telah mengaku-ngaku beriman sebelum kejadian tahakum ini.Atas dasar ini maka siapa yang menyerupai munafikin dalam satu sifat tidak langsung menjadi munafik kecuali jika ditetapkan bahwa sifat ini menyebabkan kekafiran dengan dalil lain.Manakah dalil lain itu ?
2.bahwa kelompok yang ingin bertahakum kepada selain yang Alloh turunkan dan keinginan mereka bukanlah iradah mutlak namun iradah yang menafikan kufur dengan thaghut, padahal kufur kepada thaghut adalah satu rukun iman, dan tidak diragukan bahwa siapa yang tidak memandang wajibnya kufur dengan thaghut maka dia kafir – sebagaimana telah lalu-.
3.bahwa pendalilan Anda dengan atsar ini membawa konsekuensi yang Anda sendiri tidak berpendapat dengannya yaitu Anda harus mengkafirkan seorang yang tidak memutuskan dengan apa yang Alloh turunkan walaupun dalam satu kasus tertentu.
T : dalil kesepuluh : apa yang diriwayatkan Imam Lima dan selainnya dari Bara bin Azib dengan lafadz Abu Dawud dan Nasa’iy berkata : aku berjumpa dengan ‘ammy  (paman dari ayah ) ku ketika ia sedang membawa panji perang, maka aku bertanya : hendak kemanakah engkau ? Ia menjawab : Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mengutusku untuk membunuh dan mengambil harta seorang yang menikahi istri ayahnya ( ibu tiri ), dalam riwayat Tirmidzy, Ibnu Majah dan Nasa’iy disebutkan “ khal “ ( paman dari ibu ).Dikeluarkan juga oleh  Nasa’iy dan  Thahawy dari hadits Muawiyah bin Qurrah dari ayahnya dengan lafadz “ Ashfy maalahu “.
Maka dalam hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa  orang itu dibunuh sebagai orang kafir karena dirampas hartanya, ini sekedar dengan sebab perbuatan yang ia lakukan, bagaimana lagi jika dibandingkan orang yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan, dan membuka mahkamah serta mewajibkan manusia untuk merujuk kepadanya ?atau yang membuka tempat riba dan melindunginya ? demikian...
S : hadits ini dari riwayat Muawiyah bin Qurrah dari ayahnya dari kakeknya, shahih.Dishahihkan oleh Imam Yahya bin Ma’in[59]- cukuplah satu imam ini-.Akan tetapi untuk menetapkan kebenaran suatu klaim tidaklah cukup dengan menetapkan shahih sanad namun juga harus shahih dilalah ( benar penunjukkannya ).Klaim yang Anda sebutkan – ya akhy – tidak ditunjukkan oleh hadits ini samasekali, karena hadits ini berkaitan dengan dengan orang yang menghalalkan keharaman.Karena orang yang menikahi istri ayahnya ini telah mnghalalkan farjinya dengan akad nikah, sungguh sangat berbeda antara berzina dengan istri ayah dengan menikahinya.Sebab menzinahinya adalah haram namun bukan kufur, adapun menikahinya maka jelas itu kufur dari sisi menghalalkan farji yang haram ; karena makna nikah adalah menjadikan farji menjadi halal, berbeda dari zina.
Abu Ja’far Athahawy berkata : yaitu bahwa orang yang menikahi itu, melakukannya dengan istihlal, sebagaimana mereka biasa melakukannya di zaman jahiliyah, sehingga ia menjadi murtad, sehingga Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam memerintahkan supaya ia diperlakukan sebagaimana seorang yang murtad[60].
T : Dalil kesebelas yaitu Ijma ulama atas kafirnya pemerintah yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan dan menjadikannya undang-undang.
Ijma ini disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Katsier, beliau berkata : dan dalam itu semua terdapat penyelisihan terhadap syariat Alloh yang diturunkan kepada hamba-Nya para nabi ‘alaihimusholatu wasalam, maka barangsiapa meninggalkan syariat yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup para nabi dan berhukum kepada selainnya dari syariat yang telah dimansukh maka ia telah kafir, maka bagaimana lagi dengan orang yang berhukum kepada Al Yasiq dan mengutamakannya di atas syariat ? barangsiapa melakukan itu maka ia telah kafir dengan ijma kaum muslimin[61].
S : sesungguhnya pengetahuan kita tentang Tatar dan fakta Al Yasiq akan sangat membantu untuk memahami Ijma yang disebutkan ini.Karena mereka ( Tatar ) terjatuh dalam tabdil yang merupakan penghalalan dan pengharaman.
Berkata Ibnu Taimiyah :  sesungguhnya mereka menjadikan agama islam sama seperti agama yahudi dan nashrani, bahwa ini semua adalah jalan menuju Alloh seperti madzhab arba’ah pada kaum muslimin, kemudian di antara mereka ada yang memilih agama yahudi atau agama nashrani dan di antara mereka ada yang memilih agama kaum muslimin[62].
Dan Ibnu Taimiyah juga memaparkan bagaimana mereka mengagungkan Jengis Khan dan menyamakannya dengan Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam - lalu beliau berkata - : “ dan telah diketahui dari agama islam dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa barangsiapa membolehkan mengikuti selain agama islam maka dia kafir dan seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian kitab dan kafir dengan sebagian yang lain.
Dan termasuk yang menjelaskan bahwa Ijma yang dikisahkan Ibnu Katsier ini kembali kepada masalah penghalalan dan pengharaman adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsier sendiri : “ Alloh Ta’ala mengingkari orang yang keluar dari hukum Alloh yang mengandung seluruh kebaikan, yang melarang dari seluruh keburukan, lalu berpaling kepada selainnya dari pendapat dan hawa nafsu dan istilah yang dibuat oleh manusia tanpa sandaran dari syariat Alloh sebagaimana yang dilakukan ahli jahiliyah yang berhukumkepada kesesatan dan kejahilan yang dibuat dengan fikiran dan hawa nafsu mereka dan sebagaimana Tatar berhukum kepada Siyasah Mulkiyah yang diambil dari raja mereka Jengis Khan yang menetapkan bagi mereka Al Yasiq yaitu sebuah kitab yang dikumpulkan di dalamnya hukum-hukum yang diambil dari berbagai syariat yang bermacam-macam dari ajaran yahudi dan nashrani dan agama islam dan selainnya dan banyak di dalamnya hukum yang dibuat berdasar hanya kepada pendapat dan hawa nafsunya kemudian menjadi syariat yang diikuti dan diutamakan dalam hukum.Maka barangsiapa yang melakukan itu dari mereka maka dia kafir wajib diperangi sampai ia kembali kepada hukum Alloh dan Rasul-Nya, sehinngga tidak berhukum kepada selainnya dalam hal yang sedikit mau pun banyak[63].
Berkata Ahmad bin Aly Al Fazary Al Qalqasyandy : kemudian jadilah dasar beragama Jengis Khan dan diikuti oleh keturunannya adalah metode Ilyasa yang ditetapkannya, yaitu undnag-undang yang dikumpulkan oleh akalnya dan ditetapkan oleh fikirannya, ia mengatur hukum-hukum dan menetapkan batasan, mungkin sedikit darinya mencocoki Syariat Muhammadiyah ( islam ), dan kebanyakannya menyelisihinya dan disebut Al Yasa Al Kubra...”[64].
Dalam perkataan Ibnu Katsier dan gurunya Abul Abbas Ibnu Taimiyah dan selainnya, jelas bahwa ijma yang dikisahkan adalah pada orang yang terjatuh dalam penghalalan  dan pengharaman, yaitu menghalalkan berhukum kepada selain hukum Alloh karena mereka menjadikan Al Yasiq seperti agama islam yang dapat menyampaikan kepada Alloh.Sedangkan permasalahan yang sedang kita diskusikan adalah tentang seorang yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan namun masih merasa bermaksiat bukan pada orang yang mengatakan bahwa itu boleh tidak mengapa dilakukan atau itu adalah jalan untuk mendapatkan keridhoan Alloh.
Lalu perhatikanlah – ya akhy –ucapan Ibnu Katsier : “ bagaimana lagi dengan yang berhukum kepada Al Yasiq dan mengutamakannya di atas syariat ?”.jadi, mereka mengumulkan dua hal , yaitu berhukum dengan Al Yasiq dan taqdiem ( mengutamakannya ) di atas syariat Alloh, mak dosa mereka bukan hanya tahkim ( berhukum ) saja yang sekedar perbuatan, namun disertai i’tiqad ( keyakinan ) yaitu taqdim ( mengutamakan ).
T : Saya teringat satu dalil lagi dari Kitabullah yaitu firman Alloh Ta’ala :
﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Artinya :  Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki ?, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. Maidah ; 50 )
S : penisbatan sesuatu kepada jahiliyah dan pensifatan dengannya tidak selalu menunjukkak kufur.Maka hal ini juga tidak menunjukkan kufur kecuali dengan dalil lain yang menunjukkan kekufuran.Hal ini dijelaskan oleh sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam kepada Abu Dzar : “ sesungguhnya engakau seorang yang masih memiliki jahiliyah “ ( muttafaq alaih ).
Dan sabda beliau Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dalam hadits Abu Malik Al Asy’ary riwayat Muslim : “ empat hal pada umatku dari perkara jahiliyah yangmereka tidak meninggalkannya...”.
Berkata Abdul Qasim bin Sallam : “ tidakkah kau mendengar firman Alloh ( yang artinya ) : Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki ? (QS. Maidah ; 50 ) tafsirnya menurut ahli tafsir adalah bahwa siapa yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan sedang dia berada di atas agama islam maka dia dengan hukum itu seperti ahli jahiliyah, karena demikianlah dahulu ahli jahiliyah berbuat”[65].
T : saya dapat menerima apa yang Anda sebutkan, tetapi secara akal, seorang yang telah membabat / mengeyahkan syariat dan berhukum dengan hukum eropa, tidakkah ia menjadi kafir karena terjatuh dalam kufur i’radh ( berpaling ), dan perbuatannya ini menunjukkan bahwa ia telah menghalalkan ( istihlal ) ? jika tidak begitu, mengapa dia meninggalkan hukum Rabbul arbaab ?
S : Jadi Anda ingin mengkafirkan muslim ini dari sisi perbuatannya yang merupakan kufur i’radh.Saya berharap sebelum Anda mensifati perbuatannya sebagai kufur i’radh, Anda berkonsentrasi pada dhabith ( kaidah ) kufur i’radh yang merupakan berpaling secara total dari pokok agama atau meninggalkan jinsul amal ( seluruh amal )[66].
Atas dasar memahami kaidah ini kita dapat menyimpulkan bahwa  seorang yang meninggalkan berhukum dengan apa yang Alloh turunkan tidak terjatuh dalam kufur i’radh karena ia tidak meninggalkan jinsul amal.Adapun pernyataan Anda bahwa seorang yang meninggalkan berhukum dengan yang Alloh turunkan pasti menghalalkan maka ini adalah tidak benar, walaupun memang ada kemungkinan demikian.Sebab yakin bahwa orang tersebut  beragama islam tidak dapat digugurkan oleh kemungkinan/ keraguan.Karena seorang yang telah masuk islam dengan yakin tidak dapat dikeluarkan darinya kecuali dengan yakin pula.Dimanakah sandaran yang meyakinkan itu ? dan ini juga membuka pintu pengkafiran pelaku maksiat, setiap orang yang menganggap besar satu maksiat akan dengan mudah menghukumi pelaku maksiat itu bahwa dia telah kafir, karena dianggap telah menghalalkan maksiat itu, sebab melakukan maksiat ini juga hal besar yang tidak akan dilakukan kecuali oleh seorang yang menghalalkannya.
T : tidakkah Anda mengetahui bahwa para shahabat Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mengkafirkan kaum arab yang menahan zakat setelah wafatnya Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dan menganggap mereka sebagai murtaddun.Hal ini karena mereka satu kelompok yang bersepakat menahan dari satu syariat agama ini.Maka yang seperti ini juga vonis bagi setiap pemerintah yang meninggalkan berhukum dengan syariat Alloh Subhanahu.
S : Para ulama berikhtilaf tentang mereka, apakah mereka kafir atau tidak ? Ada dua pendapat yang keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad- rahimahulloh-, walaupun saya sependapat dengan Anda bahwa mereka kafir.Ini adalah pendapat yang dirajihkan Ibnu Taimiyah, namun mereka kafir bukan karena mereka satu kaum / kelompok. Karena memerangi satu kaum juga dilakukan terhadap khawarij, namun mereka tidak kafir dengan kesepakatan shahabat, bahkan orang-orang terbaik umat ini pernah terjatuh pada fitnah pertumpahan darah namun mereka tidak kafir.Alloh berfirman :
﴿ وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا  
Artinya : dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!  ( QS .Hujurat : 9 ),
Alloh menetapkan iman bagi mereka semua sekaligus adanya peperangan.
Kekufuran mereka juga bukan karena sekedar meninggalkan karena Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tidak mengkafirkan Abu Jamil yang tidak mau membayar zakat karena bakhil.Kekufuran mereka adalah karena tidak mau iltizam dengan hukum ini yang sebabnya adalah tidak mengakui kewajibannya.Karena mustahil seorang yang masih mengakui kewajiban satu hukum lalu bersikeras meninggalkannya walaupun diancam bunuh.Maka orang yang seperti ini tidak lain karena tidak meyakini kewajibannya – sebagaimana akan datang dari ucapan Ibnu Taimiyah.Maka terjadinya pembunuhan ini adalah dalil bahwa tidak mengakui hukum ini bukan karena ia adalah sebab dalam mengkafirkannya.Perhatikan ini .
Perhatikan pula bahwa ini adalah kaidah yang tetap dalam setiap hukum syar’iy.Berkata Ibnu Taimiyah : tidak tergambar secara kewajaran jika ada seorang yang beriman dengan hatinya, mengakui bahwa Alloh mewajibkan shalat atasnya, iltizam dengan syariat Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dan apa yang beliau bawa, lalu ia diperintah ulil amri untuk shalat tapi ia menolak sampai dibunuh, tidak mungkin ia beriman di bathinnya sama sekali.Pasti batinnya kafir, walaupun ia berkata saya mengakui kewajibannya namun saya tidak akan melakukannya, ucapan ini dengan keadaan demikian adalah kedustaan[67].
Beliau berkata - rahimahulloh - : jika dia mengakui shalat dalam bathin, meyakini kewajibannya tidak mungkin akan bersikeras meninggalkannya walaupun hingga dibunuh, yang seperti ini tidak dikenal di antara anak Adam dan kebiasaannya.Karenanya,  yang seperti ini tidak pernah terjadi dalam islam sama sekali, dan tidak pernah dikenal bahwa pernah ada seorang yang meyakini kewajiban shalat kemudian dikatakan padanya : jika engkau tidak shalat maka kami akan membunuhmu, namun ia tetap bersikeras untuk meninggalkan shalat dengan mengakui kewajibannya, yang seperti ini tidak pernah terjadi dalam islam samasekali.Ketika seorang menolak untuk shalat hingga dibunuh, tentulah ia seorang yang dalam bathinnya tidak mengakui kewajiban shalat dan tidak beriltizam melakukan shalat, yang seperti ini kafir dengan kesepakatan kaum muslimin[68].
Apabila telah jelas bahwa ancaman bunuh terhadap seorang yang terus meninggalkan taat namun ia tetap bersikeras seperti itu maka ini adalah dalil atau bukti bahwa ia tidak mengakui kewajibannya.Maka dapat dikatakan jika ada seorang yang diperangi karena meninggalkan ketaatan yang ia tidak mau melaksanakannya tetapi bukan karena ketaatan itu sendiri melainkan karena takut pada pihak yang lebih kuat maka yang ini tidak kafir, sebab memeranginya di sini bukan dalil bahwa ia tidak mengakui kewajibannya, ia tetap mengakui tetapi ia takut dari pihak lain yang lebih kuat darinya.Kasus kedua ini berbeda dari yang pertama yaitu yang meninggalkan ketaatan bukan karena ada sebab lain, sebab yang ini kafir, karena itu adalah dalil ia tidak mengakuinya.Perincian ini juga berlaku dalam masalah meninggalkan berhukum dengan yang Alloh turunkan hingga diperangi.Mereka terbagi menjadi dua jenis :
Pertama : meninggalkan hukum syariah dengan terus-menerus walaupun diperangi supaya berhukum dengan yang Alloh turunkan maka dia kafir – tidak ada kemuliaan –karena sudah ada dalil bahwa ia tidak meyakini kewajibannya.
Kedua : meninggalkan berhukum dengan yang Alloh turunkan karena takut dari pihak lain, sebab walaupun ia penguasa namun masih berada di bawah kekuasaan pihak lain yang lebih kuat maka yang seperti ini walaupun diperangi tetapi tidak menunjukkan ia tidak mengakui kewajiban.Wallohu a’lam.
T : Tetapi – ya akhi – saya mendengar dari banyak orang, bahkan saya membaca sendiri tulisan semacam yang disusun Safar Hawaly dalam kitabnya Dhahiratul Irja, bahwa barangsiapa yang mengatakan bahwa berhukum dengan selain yang Alloh turunkan adalah kufur ashghar maka dia adalah seorang murjiah.
S : Sesungguhnya menggelari dan memberi sifat buruk kepada orang lain dengan sifat ahli bid’ah adalah mudah, siapa saja bisa melakukannya.Yang sulit adalah membuktikan tuduhan dengan dalil.Sebab , bagaimana dikatakan demikian, bukankah yang menafsirkan ayat dengan kufur ashghar adalah Ibnu Abbas dan murid-murid beliau serta para imam ahlis sunnah seperti Imam Ahmad dan yang lainnya ?
Dan akan menambah keyakinanmu tentang salahnya tuduhan itu adalah bahwa dua imam dari ulama ahli sunnah zaman ini berpendapat dengan pendapat ini, seperti telah kita nukilkan[69]
T : Jazakallohu khairan, kebenaran telah jelas bagiku dan saya rujuk dari pendapat saya yang lalu.Karena Alloh berfirman :
﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Artinya : dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.( QS. Al ahzab : 36 ).
Dengan dialog yang saya ketengahkan ini yang berisi penjelasan hukum masalah ini dengan dalil yang shahih baik tsubut maupun dilalahnya, saya memohon kepada Alloh agar Dia memberi hidayah kepada pemerintah kaum muslimin agar kembali  kepada syariat islam yang suci dan sempurna, karena disanalah kejayaan baik di dunia maupun di akhirat.
﴿ وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقاً
Artinya : dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak) ( QS. Jin : 16 ).



[1] .penterjemah pernah sangat tertarik mencermati dinamika pemikiran takfiry di Indonesia dengan berdiskusi dan duduk di majelis Ustadz Aman Abdurrahman sekitar tahun 2003-2004, semoga Alloh melindungi seluruh kaum muslimin dari syubhat yang disebarkannya dan menunjuki beliau agar kembali kepada akidah dan manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah.Amin.
[2] .yang kami maksud teroris adalah kaum yang mengkafirkan pemerintah kaum muslimin yang tidak berhukum dengan syariah secara mutlak tanpa tafsil dan memerangi mereka.Adapun yang mempertahankan negeri kaum muslimin dari invasi kaum kafir maka mereka adalah mujahid.Mujahid bukan teroris dan teroris bukan mujahid.
[3] .Lajnah Daimah Lilbuhuts Al Ilmiyah wal Ifta, anggota : Abdullah bin Ghudyan, wakil ketua lajnah : Abdurrozaq Afify, ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.Sebagai tambahan lihat Majmu Fatawa wa Maqolat Ibnu Baz ( 3/990-992), dan yang dinukil Majalah Al Furqon dari Syaikh Bin Baz No.( 82,94).
[4] .Qadhiyatu takfier bayna ahli sunnah wa firoq dholaal hal. 72-73.
[5] .Addurar Assaniyah ( 1/102 ).
[6] .Majmu Fatawa ( 18/170 )
[7] .disebutkan faidah ini oleh ibnulqayim dalam madarijusalikin ( 1/367 )
[8] .periksa Madarijusalikin ( 1/366), Nawaqidhul islam Al I’tiqadiyah ( 2/60 ).
[9] .Majmu Fatawa ( 3/267 ).
[10] .Asharim AlMaslul ( 2/971 ).
[11] .Minhajussunnah ( 5/130 ).
[12] .Alfishal ( 3/204 ).
[13] .Rasa’il wa Masa’il Najdiyah ( 3/46 ), juga ditafsirkan serupa dengan ini oleh ibnu katsier dalam tafsirnya ( 3/329 ).
[14] .Tafsir ( 7/198 ).
[15] .Tafsir ( 25/14 ).
[16] .Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Taimiyah di berbagai temapat, di antaranya awal-awal kitab al Al Istiqomah ( 1/5 ) dan Al Iqtidha ( 2/582 ).
[17] .lihat Al  iqtidha ( 1/211 ) dan Syarh Umdah bagian shalat ( 82 )
[18] .lihat Majmu Fatawa ( 7/ 668 ),Rasa’il Wa Masa’il Najdiyah ( 3/7 ), Syarh Umdah Ibnu Taimiyah bagian shalat ( hal.82 ).
[19] .Berkata Ibnu hazm dalam AlFishal ( 3/234 ) : sesungguhnya Alloh Azza Wa Jalla berfirman ( yang artinya ) : barangsiapa tidak menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir (QS.5:44), barangsiapa tidak menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang dzalim (QS.5:45) , barangsiapa tidak menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang fasiq (QS.5:47) , maka mu’tazilah harus mengkafirkan setiap pelaku maksiat dan pelaku kedzaliman serta pelaku kemaksiatan karena setiap pelaku kemaksiatan berarti tidak berhukum / memutuskan dengan apa yang Alloh turunkan.
[20] .banyak dari ulama terbiasa menggunakan kata عاقل ( yang berakal/cerdas ) sebagai ganti عالم ( yang berilmu ),tetapi sesungguhnya ‘alim lebih tepat, sebab من ( siapa saja ) juga kadang ditujukan kepada Alloh, sedangkan Alloh disifati dengan ilmu bukan dengan akal.Berkata Al Khottoby dalam kitab Sya’nu Du’a hal.113 : diantara nama-Nya adalam Al Alim dengan sifat ilmu, maka tidak boleh diqiyaskan dengannyalalu Alloh dinamakan dengan kata عارف/arif karena mengandung sifat makrifat yang menjadi wasilah kepada ilmu, dan juga tidak disifati Al Aqil.
[21] .Tamhid ( 16/17 ).
[22] .Tamhid ( 5/74-75 )
[23] .Tafsir Al Manar ( 6/406 )
[24] .Asyari’ah hal 27.
[25] . Ahkamul Quran ( 2/534 )
[26] . Al Bahrul Muhith ( 3/493 ).
[27] .Ta’dziem Qodr ashalat No.573.
[28] .No.569.
[29] .Tafsir ( 1/186 ) No.713.
[30] .Kitab Ta’dziem Qadr Shalat No.574.
[31] .lihat Al Iman , Abu Ubaid Al Qasim bin Salam.
[32] .Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh dalam mengomentari ucapan syaikh Albany : Al Albany berhujjah dengan atsar dari Ibnu Abbas ra. ini, dan demikian juga selain beliau dari para ulama yang lain telah menerima atsar ini karena kandungannya yang sesuai dengan banyak dalil.Telah bersabda Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam :”mencerca muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran”, walau pun demikian , memerangi muslim bukanlah mengeluarkan dari agama karena firman Alloh ( yang artinya ) :. dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya..) sampai pada firman-Nya ( yang artinya ) :10. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara ).Tetapi karena ini tidak dikehendaki mereka yang terkena syubhat takfir, maka mereka mengatakan : atsar ini tidak diterima, tidak shahih dari Ibnu Abbas.Dikatakan kepada mereka  : bagaimana tidak shahih ? sedangkan atsar ini telah diterima oleh orang-orang yang lebih besar dan afdhol daripada kalian dan lebih berilmu tentang hadits, namun kalian berkata ; tidak diterima ?!.
Cukup bagi kita bahwa para ulama seperti  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan selainnya mereka telah menerima atsar ini, bersandar padanya dan menukilkannya.Maka atsar ini shahih, taruhlah bahwa seperti yang kalian katakan yaitu atsar ini tidak shahih dari Ibnu Abbas, kita masih memiliki dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa kata kufur terkadang disebutkan tetapi yang dimaksud bukan kufur yang mngeluarkan dari agama sebagaimana ayat tersebut, seperti dalam sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam ; dua hal kekufuran yang ada pada manusia ;: mencela nasab dan meratapi mayat.Kufur ini tidak mengeluarkan dari agama.namun seperti yang dikatakan Syaikh Albany –waffaqohulloh-,di awal perkataannya: sedikitnya modal dalam ilmu, dan sedikitnya pemahaman kaidah umum syariah yang menyebabkan kesesatan ini, dan satu lain kami tambahkan yaitu buruknya keinginan yang membawa kepada keburukan pemahaman ; karena seorang jika menghendaki sesuatu akan berpindah pemahamannya kepada apa yang diinginkan tersebut kemudian menyimpangkan dalil.termasuk kaidah yang dikenal di sisi para ulama adalah ; ambilllah dalil lalu yakinilah, jangan engkau meyakini lalu mengambil dalil sehingga engkau sesat.Intinya, sebab hal ini ada tiga :
Pertama : sedikit modal dalam ilmu syar’iy
Kedua : sedikit pemahaman dalam kaidah umum syariah
Ketiga :buruknya pemahaman karena keinginan yang buruk.
Lihat ta’liq Syaikh Ibnu Utsaimin atas kitab “ Fitnah Takfir “ Syaikh Albany hal.24-25.






[33] .beliau berkata : adapun pendapat yang shahih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu pembedaan antara alkufru yang makrifat dengan alif lam dengan kufrun yang nakirah.Adapun shifat maka maka boleh dikatakan : mereka kafirun atau mereka alkafirun.berdasar apa yang menjadi sifatnya yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama.Maka ada perbedaan antara disifatkan dengan fi’il dengan disifatkan dengan fa’il ( Fatawa Al A’immah fy Nawazil Al Mudlahimah hal.227 ).
[34] .Majmu Fatawa ( 7/312 ), lihat Fathul Bary Ibnu Rajab ( 1/126 ).
[35] .Ahkamul Quran ( 2/624 )
[36] .Tafsir ( 6/191 )
[37] .( 3/268 ).
[38] . Majmu Fatawa ( 3/267 ), lihat juga ( 7/70-71 )
[39] .Al Fatawa ( 20/97 ).
[40] .jika Anda telah memahami makna iltizam dengan penjelasan ini, maka Anda akan memahami makna ucapan Imam Sufyan bin Uyainah sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Ahmad rahimahulloh dalam kitabnya Assunnah ( 348 ) ia berkata : hadatsana Suwaid bin Said berkata ; kami bertanya kepada Sufyan bin Uyainah tentang irja ( murjiah ), maka beliau berkata : mereka mengatakan iman adalah ucapan, sedang kita mengatakan iman adalah ucapan dan perbuatan.Murjiah mewajibkan surga bagi siapa yang telah bersyahadat La ilaha illalloh walau pun terus-menerus meninggalkan kewajiban-kewajiban, mereka menyebut meninggalkan kewajiban sebagai dosa seperti melakukan keharaman, padahal tidaklah sama karena melakukan keharaman tanpa istihlal adalah maksiat sedangkan meninggalkan kewajiban dengan sengaja tanpa kejahilan dan udzur adalah kekufuran.Penjelasannya ada pada perkara Adam sholawatulloh alaihi dan iblis dan ulama Yahudi, adapun Adam maka Alloh Azza Wa Jalla telah melarangnya dari memakan buah pohon itu dan mengharamkannya lalu ia memakannya dengan sengaja supaya menjadi malaikat atau orang yang kekal, maka ia disebut pelaku maksiat bukan kekufuran.Adapun iblis laknatulloh maka ia diwajibkan oleh Alloh untuk sujud sekali lalu ia menentangnya dengan sengaja maka ia disebut kafir.Adapun ulama yahudi maka mereka mengetahui sifat Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dan bahwa beliau memang nabi dan rasul seperti mereka mengenal anak mereka sendiri, mereka juga mengakuinya dengan lisan namun tidak mengikuti syariat beliau, maka Alloh Azza Wa Jalla namakan mereka sebagi orang-orang kafir.
Maka melakukan keharaman adalah maksiat seperti dosa Adam alaihi salam dan selainnya dari para nabi lainnya, adapun meninggalkan kewajiban dengan penentangan maka ia adalah kufur seperti kufurnya iblis laknatulloh, sedangkan meninggalkan di atas ilmu tanpa penentangan maka itu kufur seperti kufurnya ulama yahudi.
[41] .jadi, makna juhud/ penentangan dalam ucapan beliau adalah tidak iltizam yaitu meninggalkan perintah karena dorongan kekufuran seperti enggan atau sombong, yang lebih menguatkan itu adalah kekufuran iblis sebagaimana yang Alloh ceritakan dalam kitab-Nya, dan penggunaan kata juhud oleh para ulama dengan makna seperti ini adalah ma’ruf ( sudah dikenal luas ).Berkata Ibnu Taimiyah ( 20/98 ) : “ dan dari kalangan fuqoha yang menyebutkan bahwa tidaklah kafir kecuali yang menentang kewajibannya, sehingga penentangan mencakup takdzib / pendustaan terhadap kewajiban dan mencakup imtina’/ keengganan dari mengakui dan iltizam sebagaimana firman Alloh Ta’ala ( yang artinya ) : sesungguhnya mereka tidak mendustakanmu akan tetapi orang-orang yang dzalim itu menentang ayat-ayat Alloh ( QS.An’am : 33 ), dan firman-Nya ( yang artinya ) : dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) ,padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS.Naml : 27 ).Jika tidak demikian, maka kapan seorang tidak mengakui dan beriltizam maka dibunuh dan dikafirkan dengan kesepakatan”.
Atsar Imam Sufyan bin Uyainah walaupun dalam sanadnya ada kedhaifan namun maknanya dipastikan shahih, jika tidak maka tidak akan dinukil oleh para imam Sunnah dalam kitab-kitab akidah tanpa pengingkaran.


[42] .diriwayatkan oleh yang imam yang enam kecuali Ibnu Majah.Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al Minhaj ( 4/331 ): kisah ini termasuk yang disepakati oleh ahli ilmu tentang keshahihannya, mereka melihatnya sebagai mutawatir, terkenal di kalangan ulama tafsir dan ulama hadits, ulama maghazy dan sirah dan ahli tarikh, ulama fikih dan selain mereka.
[43] .Majmu Fatawa ( 7/490 ).
[44] .Majmu Fatawa ( 7/37 ), lihat ( 22/ 530 )dan Qowaid Nuraniyah hal.61.
[45] .Al Minhaj ( 5/131 ).
[46] .Zadul Masir ( 2/120 )
[47].lihat Jami Al Bayan fy Tafsiril quran ( 5/99 )
[48] .( 5/96 )
[49] .Taisir Karimir Rahman.
[50] .Majmu Fatawa ( 2/413 )
[51] .Al I’tisham ( 1/303 )
[52] .ini adalah ringkasan apa yang disebutkan Abul Abbas Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa ( 7/70 ).
[53] .dikeluarkan oleh Thabary ( 5/97 ).
[54] .sebagaimana dita’liq oleh al wahidy dalam Asbabun Nuzul hal. 107-108, dan Al Baghawy dalam Ma’alimut Tanzil ( 2/242 ).
[55] .diriwayatkan Thabrany dalam Mu’jam Kabir ( 5/124 ), dan Al Wahidy dalam Asbabun Nuzul hal. 106-107.
[56] .Majmauz Zawaid ( 7/6 ).
[57] .Al Ishobah ( 7/18 ).
[58] .setelah beliau membawakannya dalam Shahih Asbabun Nuzul hal.69.
[59] .Zadul Ma’ad ( 5/15 ), Imam Ahmad berdalil dengan hadits ini sebagaimana dinukilkan Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin ( 1/374 ), dan dishahihkan Ibnul Qayyim dalam Al I’lam ( 2/346 ).
[60] .Syarh Ma’anyl  Atsar ( 3/149 )
[61] .Al Bidayah Wan Nihayah ( 13/128 )
[62] .Majmu Fatawa ( 28/523 ).lihat yang lebih jelas tentang keadaan Tatar ( 28/520-527 ).
[63] .Tafsir ( 3/131 )
[64] .Al Khuthoth ( 4/310-311 ).Qalqasyandy adalah seorang tokoh abad delapan.perhatikan –wahai pembaca – bagaimana menyebut bahwa itu agama mereka, adapun yang demikian maka bukan problem diskusi ini karena seperti ini adalah kufur dengan ijma yaitu tabdil.
[65] .Al Iman hal.45.
[66] .lihat Tis’iniyah Ibnu Taimiyah ( 2/674 ) dan Madarijus Salikin ( 1/366 ) dan Minhaj Ahlil Haq Ibnu Sahman hal.64-65.Meninggalkan jinsul amal sebagai kekufuran telah disebutkan ijma oleh lima ulama, dan Kitab dan sunnah juga menunjukkan itu, kelima ulama tersebut adalah : Al Ajurry dalam Syariah ( 2/611 ), Al Humaidy dan Syafi’iy seperti yang dinukil Ibnu Taimiyah dalam Fatawa ( 7/209 ), Abu Ubaid Al Qasim bin Salam dalam kitab al Iman hal. 18-19, dan Ibnu Taimiyah sendiri dalam Majmu Fatawa ( 14/120 ).lihat buku saya Al Imam Albany Wa Mawqifuhu alal irja.
Faidah : Ibnu Taimiyah telah menegaskan istilah jinsul amal dalam Majmu Fatawa ( 7/616 ).
[67] .Majmu Fatawa ( 7/615 ).
[68] Majmu Fatawa ( 22/48 ), lihat Kitabus Shalat Ibnul Qayyim hal. 63 .
[69] .sebelum pengiriman kitab ini ke percetakan – setelah edit akhir -, saya mendapat buku “Alhukmu bi ghoyri ma anzalalloh “ tulisan saudara kami Syaikh Bundar bin Nayif Al Utaiby – waffaqohulloh-, saya melihat mukadimah ditulis oleh Syaikh Al Allamah Muhammad bin Hasan Alu Syaikh - waffaqohulloh- ( seorang anggota Lajnah Fatwa Saudi dan anggota kibar ulama ) yang beliau mengatakan : “penulis telah memberi faidah dan baik dengan menjelaskan sikap ahlusunnah wal jamaah terhadap pemerintah yang tidak berhukum dengan yang Alloh turunkan dengan disertakan dalil-dalil syar’iy dari Kitab dan Sunnah dan ucapan serta fatwa para ulama muktabar dari ulama umat ini”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar