Syubhat Takfiry
Membedah
kerancuan berfikir kaum teroris dan kesalahan mereka dalam berinteraksi dengan
dalil
Syaikh Abdul Aziz bin Rayyis Al Rayyis
hafidzahulloh
Penterjemah : Abdul Hakim Lc
بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar penterjemah
Segala puji bagi Alloh, shalawat dan salam
semoga tercurah bagi Rasululloh, seluruh istri, shahabat dan para pengikut
beliau hingga akhir zaman.Amma ba’du.
Berikut ini adalah terjemah kitab “ Al
Burhan Al Munir fy dahdhy syubuhat ahli
takfir wa tafjir “ ditulis oleh Syaikh Abdul Aziz bin Rayyis hafidhahulloh.
Semoga tulisan ini bisa menjadi obat bagi
hati yang telah terkena virus dan bakteri “ Khawarij Gaya Baru “.Dan semoga Alloh memberi
manfaat bagi obat ini karena hanya Dia-lah yang satu-satunya yang mampu menyembuhkan penyakit dhahir dan bathin.
Sebagaimana kami ( penterjemah ) pernah
terkena penyakit syubhat ini sekitar tahun 2003-2004, lalu Alloh menyelamatkan[1], maka kami berharap kepada
Alloh agar buku ini tersebar luas dan bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin
sehingga mereka dapat selamat dari syubhat takfiry.Kami mengizinkan
penyebarluasan dan memperjualbelikan buku terjemah ini dengan syarat tidak
merubah isi dan tidak mengambil dari keuntungan duniawy.
Wallohul Muwaffiq ilaa aqwamithariq.
Abdul Hakim bin Muhammad bin Mukhlish bin
Abdul Qaadir bin Abdul Ghany.
Judul terjemahan : Syubhat Takfiry ( membedah kerancuan
berfikir kaum teroris[2] dan kesalahan mereka dalam
berinteraksi dengan dalil )
Judul asli : Al
Burhan Al Munir fy dahdhy syubuhat ahli
takfier wa tafjier
Penulis : Abdul Aziz bin Rayyis Al Rayyis
Pengantar penulis
Assalam ‘alaikum wa rohmatullah wa
barokatuh
Amma ba’du.
Sesungguhnya para takfiriyin dan
tafjiriyin ( pemvonis kafir dan pengebom ), para teroris dan yang terpengaruh
oleh pemikiran mereka memiliki syubuhat ( kerancuan berfikir ), yang mereka
ulang-ulangi dalam berbagai tulisan yang mereka buat dan situs website yang
mereka sebarkan.Sehingga mereka memasukkan keraguan kepada jiwa sebagian pemuda
yang memiliki semangat kebaragamaan yang berlebih.Maka saya ingin mendekatkan
diri kepada Alloh dengan membongkar...
sebelas syubhat mereka yang terbesar, dengan kemudahan dari Alloh yang menunjukkan kita kepada dalil-dalil syar’iyah dan nukilan ilmiyah dari para ulama dakwah salafiyah.Dan saya akan mengambil contoh kasus Negara Tauhid Kerajaan Arab Saudi – semoga Alloh menjaganya – karena ia adalah negara yang istimewa dibanding negara yang lain dalam meninggikan panji tauhid dan sunnah dan pelayan bumi haromain dan tempat turun wahyu ( yang tidak selamat dari kejahatan teroris ).
sebelas syubhat mereka yang terbesar, dengan kemudahan dari Alloh yang menunjukkan kita kepada dalil-dalil syar’iyah dan nukilan ilmiyah dari para ulama dakwah salafiyah.Dan saya akan mengambil contoh kasus Negara Tauhid Kerajaan Arab Saudi – semoga Alloh menjaganya – karena ia adalah negara yang istimewa dibanding negara yang lain dalam meninggikan panji tauhid dan sunnah dan pelayan bumi haromain dan tempat turun wahyu ( yang tidak selamat dari kejahatan teroris ).
Dan perlu kita perhatikan bahwa yang
tercela adalah takfir ( pengkafiran ) yang dilakukan tanpa haq ( kebenaran ).Adapun
pengkafiran dengan haq yang sesuai dengan ushul Ahli Sunnah / Salafiyien, maka
tidak tercela.Agar tidak disangka bahwa dalam manhaj ahli sunnah salafiyin
tidak ada takfir secara ta’yin ( vonis ), sebagaimana dituduhkan oleh sebagian
pihak.Namun mereka – semoga Alloh merahmati dan meridhai mereka – berhati -
hati dari tergesa-gesa dan ekstrim dalam takfir , sedang yang telah terpenuhi
padanya syarat dan tidak ada penghalang maka mereka kafirkan karena berarti
mereka telah mengkafirkan namun berdasar dalil-dalil syar’iy.
Termasuk dalil yang paling jelas dalam hal
ini adalah takfir yang dilakukan Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam
kepada seorang yang menghalalkan farji istri ayahnya dan menikahinya dan beliau
Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mengambil khumus dari hartanya- akan ada
bahasannya.Dan takfir yang dilakukan Abu Bakr Ashidieq radhiyallohu anhu
dan para shahabat kepada kaum yang menahan zakat dan menyebut mereka sebagai murtaddun
( orang-orang murtad ).Dan Umar bin Khattab radhiyallohu anhu mengancam kaum
yang menghalalkan minum khamr karena ta’wil, bahwa jika mereka tidak rujuk dari
pendapat itu maka mereka kafir, yang diantara mereka ada Qudamah bin Madh’un Al
Badry.
Saya namakan buku ini dengan nama “ Al
Burhan Al Munir fy dahdhy syubuhat ahli
takfir wa tafjir “ ( Dalil yang memberi cahaya dalm menghancurkan syubhat
ahli takfier dan tafjier ).
Saya memohon kepada Alloh agar melindungi
kaum muslimin dari bahaya Ifrath dan Tafrith ( ekstrim dan meremehkan ) dalam
beragama dan melindungi kita semua dari keburukan takfiriyin dan tafjiriyin ,
sesungguhnya Ia adalah Dzat yang maha mengabulkan doa.
Wassalam alaikum warohmatullahi
wabarokatuh.
Syubhat Pertama
Pemerintah telah
kafir karena karena mereka tidak berhukum dengan apa yang Alloh turunkan.
Jawaban :
Jawaban bagi syubhat ini dengan mujmal (
global ) dan tafshiel ( rinci ).
Jawaban
mujmal :
Takfier dalam masalah tidak berhukum
dengan apa yang Alloh turunkan termasuk masalah yang diperselisihkan.Adapun dua
imam yaitu Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Al Albany rahimahumalloh maka
mereka berpendapat bahwa ini adalah kufur ashghar bukan kufur akbar.
Seperti yang dilansir surat kabar Asyarq
Al Ausath No. 6156 tertanggal 12/5/1416 H, bahwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz
menulis sebuah makalah yang beliau berkata : “ Saya telah meneliti jawaban yang
sangat bermanfaat yang baik sekali yang disebutkan oleh Shahibul Fadhilah
Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albany – waffaqohulloh – yang dilansir surat kabar Asyarq Al Ausath dan koran Al
Muslimun, dimana beliau menjawab seorang yang bertanya tentang pengkafiran
kepada pemerintah yang menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan tanpa
tafshiel.Saya menilai sebagai jawaban yang berharga yang menepati kebenaran,
mengikuti jalan kaum mukminin.Beliau menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seorang
pun untuk mengkafirkan seorang yang menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan
denga sekedar perbuatan tanpa mengetahui
apakah ia menghalalkan hal itu dengan
hatinya.Beliau berdalil dalam masalah itu dengan apa yang datang dari
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma dan selainnya dari salaful ummah.Dan
tidak ragu lagi bahwa apa yang beliau
sebutkan ketika menjawab tentang tafsir ayat :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾ ، ﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴾ ، ﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾
adalah benar .
Beliau menjelaskan
bahwa kufur ada dua jenis yaitu kufur akbar dan kufur ashghar, sebagaimana
dzalim ada dua jenis, demikian juga kefasikan, ada yang akbar dan ada yang
ashghar.Maka barangsiapa yang menghalalkan menghukumi dengan selain apa yang
Alloh turunkan baik dalm masalah zina atau riba atau selainnya dari hal-hal
haram yang telah disepakati keharamannya maka ia telah kafir dengan kufur
akbar, sedang siapa yang melakukannya tanpa istihlal maka kekufurannya
adalah kufur ashghar dan kedzalimannya adalah dzalim ashghor, demikian juga
kefasikannya.selesai.
Dan inilah juga yang difatwakan Lajnah Daimah Lilbuhuts
Al ilmiyah Wal Ifta ( Komite Tetap Riset Dan Fatwa Islam ) pimpinanSyaikh Bin
Baz rahimahulloh.Berikut fatwa No.6741 :
Pertanyaan : Siapa yang tidak
menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan apakah dia muslim atau kafir dengan
kufur akbar sehingga tidak diterima seluruh amalnya ?
Jawaban : Alloh berfirman :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang dzalim ( QS.Al Maidah : 45 )
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ( QS.Al Maidah : 47 )
Akan tetapi siapa yang menghalalkan hal
itu dan meyakini kebolehannya maka itu adalah kufur akbar, dzalim akbar dan
fasiq akbar keluar dari agama.Adapun yang melakukan itu karena risywah/sogokan
atau maksud lain sedang ia meyakini keharamannya ; maka ia seorang yang berdosa
dianggap kafir dengan kufur ashghar, fasiq dengan kefasikan ashghar yang tidak
mengeluarkannya dari agama ; sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama dalam
menafsirkan ayat-ayat di atas[3].
Samahatu Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahulloh
menjelaskan : siapa yang menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan tidak
keluar dari empat perkara :
1.mengatakan : aku menghukumi dengan ini –
yaitu Undang-Undang buatan manusia – karena lebih baik dari syariat islam maka
dia kafir dengan kufur akbar.
2.mengatakan : aku menghukumi dengan ini ;
karena sebanding dengan syariat islam, berhukum dengan ini boleh dan dengan
syariat juga boleh , maka dia kafir dengan kufur akbar.
3.mengatakan : aku menghukumi dengan ini
dan syariat islam lebih baik, akan tetapi menghukumi dengan selain apa yang
Alloh turunkan adalah boleh.Maka dia kafir dengan kufur akbar.
4.mengatakan : aku menghukumi dengan ini
dalam keadaan ia meyakini bahwa menghukumi dengan selain apa yang Alloh
turunkan adalah tidak boleh, dan menyatakan ; menghukumi dengan syariat lebih
baik dan tidak boleh menghukumi dengan selainnya, akan tetapi ia meremehkan,
atau melakukannya karena ketetapan yang berasal dari pemerintahnya maka dia
kafir dengan kufur ashghor tidak keluar dari agama, dan dianggap termasuk perbuatan
dosa besar yang paling besar[4].
Apabila telah jelas bahwa ini adalah
pemasalahan ijtihadiyah, maka takfir lil a’yan ( vonis takfir ) tidak
dapat dilakukan dalam hal yang ahlisunnah sendiri berselisih, karena ikhtilaf adalah salah satu
penghalang dari vonis takfir.
Berkata Al Imam Muhammad bin Abdul Wahab
rahimahulloh : rukun islam ada lima ; yang pertama adalah dua kalimat syahadat,
kemudian empat rukun yang lain.Maka yang empat ini jika seorang mengakuinya
tetapi meninggalkannya karena meremehkan, maka kami walau pun memeranginya karena hal itu akan tetapi kami
tidak mengkafirkannya dengan sekedar meninggalkan.Karena para ulama berbeda
pendapat dalam masalah seorang yang meninggalkannya karena malas tanpa juhud (
penentangan ), dan kami tidak mengkafirkan kecuali dalam hal yang disepakati
para ulama seluruhnya, yaitu dua kalimat syahadat[5].
Nawawy rahimahulloh mengatakan dalam
kitabnya “ Riyadhushalihin “ dalam menafsirkan bawwahan ( بواحاً
) / kekufuran yang jelas : yaitu yang
dzahir lagi tidak mengandung ta’wil.
Dan perselisihan ulama adalah satu bentuk
takwil yang menghalangi vonis takfir ; karena yang dikafirkan tersebut
bisa mengambil pendapat ulama yang lain
yang menyatakan bahwa khilaf itu boleh
antara ahlu sunnah selama mereka masih termasuk ahli sunnah.
Dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
rahimahulloh juga menegaskan bahwa takfir tidak bisa dijatuhkan dalam
perkara yang diperselisihkan dalam pertemuan terbuka ( liqo maftuh
).Bahkan beliau rahimahulloh berkata dalam “Syarh Al Qowa’id Al Mutsla” :
“ dan banyak dari manusia – pada hari ini
– di antara kelompok yang menisbatkan diri kepada agama dan ghirah/ kecemburuan
pada agama Alloh Azza Wa Jalla, engkau dapati mereka mengkafirkan orang yang
tidak dikafirkan oleh Alloh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.Bahkan – yang patut
disayangkan- sebagian orang selalu berdebat tentang pemerintah mereka, berusaha
agar dapat memvonis mereka dengan kekafiran.Hanya sekedar karena melakukan hal
yang mereka anggap haram, dan terkadang termasuk perkara khilafiyah, dan terkadang
penguasa ini memiliki udzur kejahilan.Karena penguasa tentu berinteraksi dengan
orang yang baik dan orang yang buruk.Dan setiap penguasa selalu meliki dua
jenis teman dekat ; yang baik dan yang buruk.Maka sebagian penguasa – misalkan
–suatu saat didatangi orang yang baik dan mengatakan ; hal ini haram dan tidak
boleh Anda lakukan, namun di saat yang lain datang orang lain yangmengatakan :
ini halal dan Anda boleh melakukannya.Kita beri contoh masalah bank, sekarang
tentunya kita tidak ragu bahwa bank-bank melakukan praktik riba yang Nabi Shollallohu
‘alaihi Wa Sallam telah melaknat setiap orang yang makan dari riba, yang
memberi riba, dua saksi dan penulisnya, dan bahwa bank-bank konvensional ini
wajib ditutup dan diganti dengan bank yang berpraktik dengan muamalat yang halal, sehingga tegak agama kita
– ini yang pertama- lalu ekonomi kita – ini yang kedua-.
Maka tergesa-gesa menghukumi pemerintah
muslimin dalam perkara ini adalah kesalahan yang besar, dan kita mesti bersabar
karena bisa jadi pemerintah memiliki udzur.
Jika telah tegak hujjah atasnya dan ia
berkata : benar, inilah aturan syariat, dan bahwa riba ini haram, tetapi saya
berpandangan bahwa tidak akan baik ekonomi umat pada masa ini kecuali dengan
riba ini ! maka pada saat itu ia menjadi kafir karena meyakini bahwa agama
Alloh di waktu ini tidak baik dijalankan karena sudah tidak sesuai dengan
zaman.Adapun jika ia bersyubhat dan dikatakan : ini halal , yakni karena para
ahli fiqh mengatakan demikian ! , atau karena Alloh berfirman demikian ..!,
maka orang sperti ini bisa jadi mendapat udzur.Karena banyak dari pemerintah
kaum muslimin sekarang mereka jahil terhadap hukum-hukum syar’iy, atau terhadap
banyak hukum syar’iy.Maka saya sengaja memberikan contoh demikian supaya jelas bahwa
permasalahan ini berbahaya.Dan bahwa takfir harus diketahui syarat-syaratnya
dahulu”.
Demikian juga tafsiq tidak bisa diterapkan
dalam hal yang diperselisihkan oleh ulama sunnah.Maka barangsiapa berpandangan
bahwa illat terjadinya riba pada
empat komoditi riba adalah makanan pokok ( الطعم ) dan takaran atau
timbangan, maka dia tidak dapat menjatuhkan tafsiq kepada seorang awam yang
bertaklid kepada seorang ulama mu’tabar yang berpandangan bahwa illat riba pada
empat komoditi tersebut adalah simpanan ( الادخار ( sebagai tambahan illat makanan pokok dan takaran
atau timbangan, jika melakukan pertukaran tidak sama dengan yang tidak
disimpan.
Termasuk yang menguatkan hal ini adalah
kaidah bahwa hukum had dibatalkan dengan syubuhat (الحدود تدرأ بالشبهات ), maka hukum takfir lebih berhak dibatalkan
dari seorang tertentu dengan syubhat khilaf.Wallohu a’lam.
Adapun
jawaban tafshil :
Sesungguhnya meninggalkan memutuskan hukum
dengan apa yang Alloh turunkan walaupun merupakan hal yang sangat buruk dan
jelek, namun ia bukan kufur akbar.Ia adalah kufur ashghar sebagaimana
ditegaskan oleh para pemimpin umat dari kalangan ulama sunnah – seperti yang
akan dibahas-.Walaupun ia kufur asghar bukan akbar bukan berarti boleh
meremehkannya ; karena jika syariat tidak mensifati keburukannya selain dengan
kata kufur tentu telah cukup.Berikut ini adalah dalil dan nukilan ulama umat
diantaranya dua imam Abdul Aziz bin Baz dan Muhammad Nashirudin Al Albany rahimahumalloh
yang menetapkan permasalahan ini dalam kufur ashghar bukan akbar.
Para ulama telah bersepakat masalah
menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan ada yang kufur akbar mengeluarkan
seorang dari agama seperti jika menentang ( جحوداً ) atau menganggap
halal ( استحلالاً
) yang akan ada rinciannya-, ada pula yang buka kekufuran seperti seorang ayah
yang mendzalimi seorang dari dua anaknya dan tidak berbuat adil, yang berarti
ia telah memutuskan antara keduanya dengan selain apa yang Alloh turunkan.Sebab
memutuskan perkara antara dua anak juga termasuk memutuskan perkara, jika adil
maka berarti sesuai dengan yang Alloh turunkan, dan jika dzalim berarti dengan
selain yang Alloh turunkan.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh : dan
setiap orang yang memutuskan hukum antara dua orang maka ia adalah qadhy /
hakim sama saja apakah ia tentara atau bekerja di kantor atau diangkat untuk
amar ma’ruf dan nahy munkar sampai seorang yang memutuskan antara anak-anak
dalam hak mereka, maka sungguh para shahabat menganggapnya termasuk dari
pemerintah ( pemutus perkara )[6].
Menghukumi dengan selain apa yang Alloh
turunkan bermacam-macam, namun ada satu keadaan yang banyak dibicarakan yaitu
jika pemerintah menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan karena hawa nafsu
dan syahwat berupa menetapkan undang-undang atau mengadopsi undang-undang yang
telah ditetapkan sebelumnya, namun masih merasa bermaksiat dan bersalah, apakah
yang seperti ini dianggap melakukan kufur yang mengeluarkan dari agama atau
tidak ?
Sebelum disebutkan dalil setiap pendapat,
terlebih dahulu saya petakan permasalahan yang terangkum sebagai berikut :
1.pemerintah menentang hukum Alloh
Subhanahu Wa Ta’ala, dan maksud menentang adalah mendustakan dan mengingkari
bahwa ini adalah hukum Alloh Azza Wa Jalla, ini adalah kufur secara
kesepakatan.Alloh berfirman :
﴿ وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْماً
وَعُلُوّاً ﴾
Artinya : dan mereka mengingkarinya karena
kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini ( kebenaran )
nya ( QS. Annaml : 14 )
﴿ فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ
الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
﴾
Artinya : karena mereka sebenarnya bukan
mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat
Allah ( QS. Al An’am : 33 )
Dan kufur juhud ada dua jenis : kufur ‘aam
dan kufur muqoyyad khaash .Adapun kufur khash muqoyyad adalah mengingkari
satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban dalam islam atau mengingkari satu
keharaman dalam islam[7] .
Perbedaan antara takdzib ( mendustakan )
dan juhud ( menentang ) dari dua sisi :
a.kufur juhud adalah takdzib lisan dengan
ilmu di hati
b.kufur juhud disertai pembangkangan[8].
2.pemerintah memperbolehkan hukum dengan
selain apa yang Alloh Subhanahu Wa Ta’ala turunkan : dan ini adalah istihlal
( menganggap halal ) dan ia merupakan kufur dengan kesepakatan.
Berkata Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata
: dan seseorang kapan dia menghalalkan yang haram yang disepakati keharamannya
atau mengharamkan yang halal yang disepakati kehalalannya, atau mengganti
syariat yang disepakati maka ia kafir murtad dengan kesepakatan para ahli
fikih, dan pada yang seperti inilah turun firman Alloh Ta’ala – menurut satu
dari dua pendapat-
{ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ }
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
Yaitu yang menghalalkan hukum dengan selain yang Alloh
turunkan[9].
Dan beliau berkata : penjelasannya adalah bahwa
barangsiapa melakukan keharaman dengan menghalalkannya maka dia kafir dengan
kesepakatan, sebab tidaklah beriman dengan Al Quran seorang yang menganggap
halal apa yang Al Quran haramkan[10] .
Beliau juga berkata : dan tidak ragu bahwa barangsiapa
tidak meyakini kewajiban berhukum dengan apa yang Alloh turunkan atas Rasul-Nya
maka dia kafir, barang siapa menghalalkan untuk diputuskan antara manusia
dengan apa yang dipandangnya adil tanpa mengikuti apa yang Alloh turunkan maka
dia kafir[11].
Dan termasuk yang menunjukkan bahwa istihlal
adalah kekufuran adalah :
a.Firman Alloh Ta’ala :
﴿ إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ
يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَاماً وَيُحَرِّمُونَهُ عَاماً
لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ ﴾
Artinya : Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu
adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan
mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan
bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. ( QS. Taubah : 37 )
Berkata Ibnu Hazm : secara hukum bahasa yang diturunkan
Al Quran dengannya, bahwa tambahan terhadap sesuatu pasti akan menjadi bagian
darinya bukan selainnya, maka benarlah bahwa mengundurkan adalah kekufuran dan juga perbuatan dan juga
penghalalan terhadap apa yang Alloh Ta’ala haramkan, maka barangsiapa
menghalalkan apa yang Alloh Ta’ala haramkan dalam keadaan mengetahui bahwa
Alloh Ta’ala telah mengharamkannya maka ia kafir dengan sebab perbuatan itu[12].
b.firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى
أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
﴾
Artinya : Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada
kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya
kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik ( QS. Al An’am : 121 )
Berkata Syaikh Abdullathif bin Abdurrahman bin Hasan : (
perhatikan ) bagaimana Alloh menghukumi bahwa
siapa yang mentaati wali-wali syaithon dalam menghalalkan apa yang Alloh
haramkan bahwa dia musyrik dan ditegaskan itu dengan “ sesungguhnya “ yang
menekankan[13].
c.firman Alloh Ta’ala :
﴿ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ
الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ﴾
Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan
selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?
( QS. Syuraa : 21 )
Berkata Ibnu Katsier : “ sesungguhnya mereka tidak
mengikuti apa yang Alloh syariatkan kepadamu berupa agama yang lurus, tetapi
mengikuti apa yang disyariatkan oleh syaithan- syaithan mereka dari golongan
jin dan manusia berupa pengharaman apa yang mereka haramkan baik bahirah
dan saibah dan washilah dan haam dan penghalalan darah dan
judi ”....sampai ucapan beliau : dari
penghalalan dan pengharaman dan ibadah yang batil serta ucapan yang rusak ”[14].
Berkata Ibnu Jarir : Alloh Ta’ala Dzikruhu berfirman apakah
kaum musyrikin memiliki sekutu-sekutu dalam kesyirikan dan kesesatan mereka
yang mensyariatkan bagi mereka hukum agama yang tidak alloh izinkan, yaitu
membuat bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan Alloh[15] .
Karena itulah sebagian ulama[16] biasa membawakan ayat ini
sebagai dalil keharaman bid’ah-bid’ah – yang merupakan pensyariatan
perkara-perkara baru yang disangka oleh pelakunya bahwa ia termasuk agama dan
dijadikan ibadah kepada Alloh -, dari sini jelaslah kesalahan orang-orang yang
berdalil dengan ayat ini dalam pengkafiran orang yang membuat hukum-hukum
selain hukum Alloh.Sisi kesalahan istidlal mereka adalah bahwa ayat ini
mengkafirkan orang yang mengumpulkan dua sifat yaitu membuat hukum dan anggapan
ia termasuk agama, inilah yang disebut tabdil – akan datang bahasannya -,
adapun membuat hukum saja tanpa
menganggapnya termasuk agama maka ayat ini tidak menceritakan
kekafirannya.Perhatikanlah ini !.
3.pemerintah menyamakan hukum selain Alloh dengan hukum
Alloh Jalla Jalaluhu : dan ini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama,
sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
﴿ فَلا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ ﴾
Artinya : Maka janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah ( QS. Nahl : 74 )
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْء ٌ ﴾
Artinya : tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia ( QS. Syuraa : 11 )
﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيّاً ﴾
Artinya :
Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia ( QS.Maryam : 65
)
﴿ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَاداً
﴾
Artinya : karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan
- tandingan bagi Allah ( QS. Al Baqoroh
: 22 )
4.pemerintah mengutamakan hukum selain Alloh di atas hukum Alloh Subhanahu Wa Ta’ala : dan
ini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama. Karena yang ini lebih parah
dari sebelumnya, dan mendustakan kitab Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.Alloh Ta’ala
berfirman :
﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾
Artinya : dan ( hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? ( QS.Al Maidah : 50 )
5.pemerintah menghukumi dengan selain apa yang Alloh
turunkan dengan keyakinan bahwa itu adalah hukum Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, ini
adalah kufur akbar secara ijma.Alloh berfirman :
﴿ أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ
يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ﴾
Artinya : Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan Allah? ( QS. Syuraa : 21 )
Sehingga mereka mengumpulkan antara tasyri’ dan anggapan
bahwa itu termasuk agama.Inilah yang disebut “tabdil” ( merubah ).
Setelah kita petakan permasalahan yang diperselisihkan,
saya akan berpindah kepada apa yang banyak
diperselisihkan yaitu jika pemerintah menghukumi dengan selain apa yang
Alloh turunkan karena hawa nafsu dan syahwat dengan melegalisasi undang-undang
yang ia buat sendiri atau mengadopsi undang-undang yang telah dibuat sebelumnya
dengan masih mengakui dirinya bermaksiat dan menyelisihi perintah Arrahman
Subhanahu , apakah pemerintah yang seperti ini menjadi kafir murtad dari agama
? Saya akan bawakan masalah ini dalam bentuk dialog agar lebih mudah memahami
dalil.Yang tidak mengkafirkan saya sebut Mufassiq ( S ), dan yang
mengkafirkan saya sebut Takfiry ( T ).
S : Hukum asal dalam maksiat dan dosa adalah tidak kafir kecuali dengan
adanya dalil syar’iy khusus, jika Anda dapat menyebutkan dalil yang menunjukkan
pengkafirannya dan jika saya tidak dapat menjawab maka tidak ada jalan lain
kecuali saya akan berpendapat dengan pendapat Anda.Dan cukup bagi saya satu
dalil saja yang shahih dari sisi tsubut ( sanad ) dan dilalah (
matan ).Namun jika tidak shahih tsubut atau dilalah, maka wajib bagi Anda untuk
rujuk kepada hukum asal yaitu tidak
mengkafirkan walaupun kita sepakat bahwa orang semacam ini terjatuh dalam dosa
yang berbahaya ; cukuplah menunjukkan bahaya dosa ini ketika syariat menamakan
pelakunya sebagai orang kafir yang diperselisihkan apakah dia sudah keluar dari
islam atau belum .
T : Saya memiliki banyak dalil yang bermacam
baik dari AlKitab, Sunnah, Ijma dan akal yang menunjukkan kekufuran ini
akbar.Hendaknya kita bahas satu persatu, jika telah kita dapatkan satu dalil
yang Anda terima tsubut dan dilalahnya maka kita cukupkan diskusi karena tujuan
telah tercapai, karena Anda tadi sebutkan bahwa satu dalil saja cukup untuk
menetapkan apa yang saya kehendaki .
S : Silakan sebutkan dalil Anda .
T : Dalil yang pertama firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
Sisi pendalilannya adalah : Alloh telah
menghukumi bahwa siapa saja yang tidak
menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan bahwa dia orang kafir, disebut
kafir hanya dengan sebab dia menghukumi dengan selain apa yang Alloh turunkan
tanpa dikaitkan dengan keyakinan, ini menunjukkan bahwa illat hukum ini adalah
sekedar dia tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan.Dan Anda tidak berhak
membawa makna kafir di sini kepada kufur ashghar karena Al Hafidz Al Imam Ibnu
Taimiyah menyebutkan bahwa setelah beliau meneliti dengan seksama seluruh dalil-
dalil syariat bahwa kekufuran yang disebut dengan makrifat selalu menunjukkan
kepada kufur akbar[17], kemudian beliau dan
selainnya juga menyebutkan bahwa hukum
asal kekufuran jika disebut secara mutlak maka kufur akbar kecuali jika ada
dalil lain.Karena hukum asal dalam lafadz jika dimutlakkan dalam Kitab dan
Sunnah berarti menunjukkan maksudnya secara mutlak dan hakikatnya secara mutlak
dan sempurna[18].
S : Anda telah menyebutkan tiga argumen :
1.syariat mengaitkan hukum hanya dengan sekedar
menghukumi tanpa melihat keyakinan
2.bahwa lafadz jika dimutlakkan dalam syariat selalu
menunjukkan makana yang sempurna kecuali jika ada dalil
3.bahwa Ibnu Taimiyah meneliti lafadz kufur dalam syariat
dan beliau jelaskan bahwa itu selalu menunjukkan kufur akbar bukan ashghar.
Jawaban untuk argumen pertama adalah sebagai berikut :
Saya tidak berbeda dengan Anda bahwa syariat mengaitkan
hukum ini dengan sifat “kafir “ dengan sekedar menghukumi dengan selain apa
yang Alloh turunkan tetapi saya katakan bahwa kufur di sini ashghar bukan akbar
karena dalil-dalil berikut ini :
1.bahwa mengambil keumuman ayat ini memberi konsekuensi
pengkafiran seluruh muslimin dalam segala keadaan yang ia tidak berbuat adil
antara dua orang, sampai seorang ayah terhadap anak-anaknya, bahkan antara
seorang dengan dirinya sendiri jika ia berbuat maksiat kepada Rabb-nya ; karena
kenyataanya ketika seorang bermaksiat kepada Rabb-Nya berarti ia tidak
menghukumi / memutuskan dengan apa yang Alloh turunkan untuk dirinya sendiri[19].Sisi konsekuensi ini
adalah karena lafadz من / barangsiapa adalah
umum mencakup setiap orang yang berilmu[20] dan yang awam.Dan yang
tidak adil antara anak-anaknya juga masuk dalam keumuman “ barangsiapa”, dan
permasalahan yang ia tidak berbuat adil masuk dalam keumuman ما / apa saja.
Maka dalil-dalil yang menunjukkan tidak kafirnya orang
semacam ini dan juga pelaku maksiat telah memalingkan ayat tadi dari kufur
akbar kepada kufur ashghar, karenanya para ulama berijma untuk tidak mengambil
keumuman ayat ini, sebab kaum khawarij
yang berpegang dengan keumuman ayat ini untuk mengkafirkan pelaku
maksiat dan dosa dan mereka tidak menoleh kepada dalil-dalil lain yang
memalingkan dari kufur akbar.
Berkata Ibnu AbdulBarr : dan telah sesat satu kelompok
ahli bid’ah dari kalangan Khawarij dan Mu’tazilah dalam masalah ini, mereka
berhujjah dengan ayat-ayat dalam kitabullah yang makananya tidak seperti
dzahirnya , seperti firman-Nya Ta’ala ;
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )[21]
Beliau berkata : para ulama telah berijma bahwa
kedzaliman dalam menghukumi termasuk dosa besar bagi yang sengaja melakukannya
lagi mengetahuinya[22].
Berkata Muhammad Rasyid ridha : ‘ adapun dzahir ayat ini
maka tidak diambil oleh seorang pun dari para imam fikih yang terkenal, bahkan
tidak diucapkan seorang pun[23].
Mungkin beliau tidak memandang Khawarij juga berpegang
kepada dzhir ayat ini karena mereka tidak mengkafirkan pelaku dosa kecil
padahal dzahir ayat ini mencakup sampai dosa kecil .
Berkata Al Ajjury : dan termasuk ayat mutasyabihat yang
diikuti Haruriyah ( khawarij ) adalah firman Alloh Azza Wa Jalla :
﴿ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾
Artinya : Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
Mereka mengkaitkan dengan :
﴿ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ﴾
Artinya : Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan
(sesuatu) dengan Tuhan mereka.( QS. Al An’am : 1 ).
Lalu jika mereka melihat imam / penguasa memutuskan dengan
selain kebenaran mereka berkata ; dia telah kafir, dan siapa yang kafir berarti
mempersekutukan Tuhan berarti dia musyrik, maka para pemimpin itu orang-orang
musyrik, lalu mereka memberontak dan melakukan apa yang kau telah lihat ;
karena mereka mentakwilkan ayat ini[24].
Berkata Al Jashash : kaum khawarij telah mentakwilkan
ayat ini untuk mengkafirkan siapa pun
yang meninggalkan berhukum dengan apa yang Alloh turunkan tanpa adanya juhud /
penentangan[25].
Berkata Abu Hayyan ; kaum khawarij berhujjah dengan ayat
ini untuk memvonis bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Alloh Ta’ala
adalah kafir, dan mereka mengatakan ini adalah nash bahwa setiap orang yang
memutuskan dengan selain yang Alloh turunkan adalah kafir[26].
Lihatlah ,semoga Alloh menjaga Anda, banyak perkataan
ulama umat ini yang mencela mengambil keumuman ayat itu dan bahwa itulah
madzhab khawarij, maka berhati-hatilah.
2.bahwa telah tsabit dari Turjumanulquran ( Ibnu
Abbas ), pentafsiran ayat ini dengan kufur ashghar bukan akbar dan kita tidak berhak
menyelisihinya.
T : saya tidak sependapat dengan Anda tentang
keshahihan berdalil dengan atsar ibnu abbas, baik dari sisi sanad maupun matan.
Adapun secara sanad maka apa yang datang dari Ibnu Abbas
berupa penegasan kufur ashghar tidaklah tsabit seperti ucapan ;
كفر
لا ينقل من الملة
( kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama
)
, atsar ini diriwayatkan Ibnu Nashr[27] dari jalan Abdurrozaq
dari Sufyan dari seseorang dari Thawus dari Ibnu Abbas, didalam sanadnya ada
seorang yang mubham / tidak jelas dan ini termasuk majhul ( tidak diketahui ) ,
sedangkan riwayat majhul adalah dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah.Seperti
juga ucapannya radhiyallohu anhu ;
ليس بالكفر
الذي تذهبون إليه
(
bukan kekufuran yang kalian fahami )
Diriwayatkan Ibnu Nashr[28] dari jalan Ibnu Uyainah
dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas, sedang Hisyam bin Hujair
telah didhaifkan oleh Yahya Al Qathan dan Ibnu Main dan selainnya.Sehingga
atsar ini dhaif.Juga seperti ucapannya radhiyallohu anhuma :
كفر دون كفر
( kekufuran
dibawah kekufuran )
Dikeluarkan oleh Al Hakim dari jalan Ibnu
Uyainah dari Hisyam bin hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas, atsar ini dhaif
karena Hisyam bin Hujair dhaif.
Adapun yang tsabit dari Ibnu Abbas dalam
tafsir ayat itu adalah :
هي به كفر
(
itu adalah kekufuran padanya )
Sebagaimana diriwayatkan Abdurrozaq[29] dari Ma’mar dari Ibnu
Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, maka tidak sharih menunjukkan kufur
ashghar.Sebab dapat dibawa kepada kufur akbar, ini semisal dengan yang
diriwayatkan Thobary dalam tafsirnya dari jalan Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid
dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, ucapan beliau :
هي به كفر و
ليس كفرا بالله و ملائكته و كتبه و رسله
(
itu adalah kekufuran padanya tetapi bukan kufur kepada Alloh dan malaikat-Nya
dan kitab-Nya dan Rasul-Nya )
S : apa yang Anda sebutkan dari pembahasan sanad , saya
sepakat.Namun sandaran saya bukan pada dua atsar yang dhaif ini, melainkan
seperti ini : dua atsar yang shahih dari Ibnu Abbas ini masih mengandung kemungkinan kufur ashghar
atau akbar, saya merajihkan ia adalah kufur ashghar karena tiga hal :
a.bahwa murid-murid Ibnu Abbas seperti
Thawus menegaskan bahwa maksud ayat itu
adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama dengan sanad yang shahih
diriwayatkan Ibnu Nashr[30] dan Ibnu Jarir dalam
tafsirnya.maka ini menguatkan sisi kemungkinan maksud kufur ashghar, yang dapat
dikategorikan dzann ghalib ( dugaan kuat ), dan ini cukup dalam
istidlal.Sebab ucapan murid-murid seseorang menunjukkan ucapannya, bahkan
riwayat ucapan seorang dapat dianggap bemasalah dan didhaifkan jika ucapan
murid-muridnya menyelisihi , seperti yang dilakukan Yahya bin Said dalam
mendhaifkan riwayat ucapan Ibnu Mas’ud, karena murid-muridnya berpendapat yang
menyelisihi riwayat tersebut[31].
b.saya tidak mengetahui seorang pun dari
ulama terdahulu yang membawakan pendapat lain dari Ibnu Abbas dengan berdasar
riwayat ini.Yang ada hanyalah yang menyandarkan kepada beliau pendapat lain
berdasar apa yang diriwayatkan bahwa beliau menafsirkan ayat ini dengan juhud (
penentangan ) dan sanadnya dhaif.Kemudian, termasuk yang menguatkan tidak
mungkin Ibnu Abbas bermaksud kufur akbar, adalah fitnah khawarij yang terjadi
di zaman beliau, dimana mereka berpegangan dengan ayat ini dalam mengkafirkan,
dan beliau berdebat dengan mereka.Maka mentafsirkan ayat ini dengan makna kufur
akbar tidak ada gunanya dalam membantah mereka.Perhatikan ini, semoga Anda
ditunjuki ke jalan lurus.
c.bahwa riwayat dhaif yang menegaskan kufrun
duna kufrin, kedhaifannya tidak parah.Karena sebagian ulama ada yang
mentsiqahkan Hisyam bin Hujair sehingga menguatkan penjelasan makna atsar yang
shahih, dan bahwa yang dimaksud adalah kufur ashghar[32].
T : Anda telah menjawab
hujjah pertama , apakah jawaban Anda terhadap hujjah kedua ?
S : Anda telah menjadikan hukum asal kufur adalah akbar
kecuali jika ada dalil yang memalingkannya, saya telah sebutkan dalil yang
memalingkannya dari akbar ke ashghar yaitu pemahaman shahabat, ini yang
pertama.Yang kedua ; setiap dalil yang menunjukkan tidak kafirnya seorang yang
berbuat dzalim antara dua orang dan tidak berbuat adil, bahkan yang mendzalimi
orang lain secara mutlak, juga apa yang disebutkan Ibnu AbdilBarr yaitu ijma
bahwa kedzaliman dalam memutuskan hukum bukan kekufuran tetapi dosa besar di
antara kaba’ir lain.
T : Apa jawaban Anda
terhadap hujjah ketiga ?
S : Jawabannya dari dua sisi :
a.penelitian Ibnu Taimiyah dalam lafadz الكفر adalah jika berbentuk
mashdar , sedang yang ada dalam ayat ini bukan mashdar melainkan isim fa’il.Tentu
keduanya berbeda sebab mashdar menunjukkan peristiwa saja, adapun isim fa’il
maka ia menunjukkan peristiwa dan pelaku, seperti yang dijelaskan Al Allamah
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahulloh[33].
Termasuk yang menunjukkan bahwa penelitian
tersebut adalah dalam bentuk mashdar dan bukan isim fa’il, adalah bahwa beliau
sendiri sendiri menjadikan makna ayat ini kufur ashghar, beliau rahimahulloh
berkata : dan jika perkataan salaf ; sesungguhnya seseorang bisa terdapat
padanya iman dan nifaq, maka demikian pula ucapan mereka :; bisa terdapat
padanya iman dan kufur, namun bukan kufur yang mengeluarkan dari agama,
sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abbas dan murid-muridnya dalam firman Alloh (
yang artinya ) : Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 ), mereka berkata : mereka kafir
dengan kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama, dan ini diikuti oleh Ahmad
bin Hanbal dan selainnya dari para imam sunnah[34].
b.jika dianggap
bahwa penelitian Ibnu Taimiyah mencakup isim fa’il, maka akan dijawab bahwa
penelitian Ibnu Taimiyah ini kurang lengkap tidak sempurna karena ayat ini
mengandung lafadz kufur yang makrifah namun bermakna kufur ashghar bukan akbar
karena dalil-dalil tersebut di atas.
Setelah saya
menjawab ketiga hujah Anda, dan menetapkan bahwa ayat ini dibawa pengertiannya pada kufur ashghar, saya
ingin menolehkan perhatian Anda –Wahai teman -, bahwa ayat ini bisa dibawa
pengertiannya kepada kufur akbar yaitu bagi yang merubah hukum Alloh dengan
hukum selain-Nya.Sebagian orang tidak mengerti makna kata “tabdil “ ( merubah
), sehingga dikira mencakup setiap orang yang berhukum dengan selain hukum
Alloh.Padal kata tabdil dalam istilah para ulama adalah meletakkan hukum yang bukan
hukum Alloh dengan menganggapnya sebagai hukum Alloh, adapun yang membuat hukum
selain hukum Alloh tetapi tidak menganggapnya sebagai hukum Alloh maka dia buka
orang yang merubah ( tabdil ).
Berkata Ibnul Araby
: hal ini berbeda ; jika membuat hukum dari sisinya lalu dianggap itu dari sisi
Alloh maka ini adalah tabdil yang menyebabkan kufur[35].
AlQurthuby[36] juga mengatakan yang
demikian , juga Ibnu Taimiyah mengisyaratkannya, beliau berkata : lafadz syara’
dalam istilah ulama dibagi menjadi tiga makna :
Syara’ Al
munazzal : yaitu apa yang
dibawa oleh Rasul Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam, ini wajib diikuti dan yang
menyelisihinya wajib dihukum
Syara’ Al
Mu’awwal : yaitu pendapat
para ulama mujtahidin seperti madzhab Malik dan semisalnya.Ini boleh diikuti, tidak
wajib dan tidak haram, dan tidak ada hak bagi seorang untuk memaksakan manusia
untuk mengikuti, juga untuk meninggalkan.
Syara’ Mubaddal : yaitu kedustaan atas Alloh dan
Rasul-Nya atau atas manusia dengan persaksian palsu dan sejenisnya dari
kedzaliman yang jelas, barangsiapa
mengatakan sungguh ini dari syariat Alloh maka dia kafir tanpa ada perselisihan.Seperti
yang mengatakan darah dan bangkai itu halal – walau pun ia mengatakan ini
madzhabku- dan yang semisalnya[37].
Perhatikanlah,
beliau menjadikan Syara’ Mubaddal adalah kedustaan atas Alloh dengan sangkaan
bahwa itu dari syariat Alloh bukan merubah hukum secara mutlak.
Dan sabab nuzul ayat
ini yang diriwayatkan Muslim dari hadits Bara bin Azib adalah tabdil, karena
Yahudi mengira bahwa mereka mendapati hukuman zina dalam kitab mereka adalah Tahmim
( dihitami dan diarak ), padahal sesungguhnya hukuman zina dalam kitab mereka
adalah Rajam tetapi mereka merubahnya ke Tahmim dengan mengklaim bahwa
tahmim adalah hukum yang diturunkan
Alloh.Maka ayat ini bisa dibawa kepada kufur ashghar sebagaimana yang lalu atau
kufur akbar bagi yang melakukan tabdil.
Berkata Ibnu
Taimiyah : dan seseorang kapan dia menghalalkan yang haram yang disepakati atau
mengharamkan yang disepakati kehalalannya, atau mentabdil ( merubah 0 syariat
yang disepakati maka ia kafir murtad dengan kesepakatan fuqoha.Dan pada hal
seperti ini turun firman Alloh menurut satu dari dua pendapat ( yang artinya )
: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 ) yakni yang
menghalalkan berhukum dengan selain yang Alloh turunkan[38].
Faidah :Sering
sekali disebutkan oleh ulama dalam perkataan mereka terlebih Al Imam Ahmad bin
Taimiyah rahimahulloh bahwa yang tidak beriltizam terhadap ini maka dia
kafir.Maka sebagian mereka memahami makna tidak iltizam adalah terus menerus
meninggalkan yang wajib atau terus menerus melakukan yang haram, pemahaman ini
adalah salah, dan merupakan satu langkah dari langkah-langkah syaithan untuk
menjadikan mereka berpemikiran khawarij dalam pelaku dosa besar.Hal ini
terbantah dari beberapa sisi :
1.penjelasan makna
“tidak iltizam” dari perkataan ulama terlebih Imam Ahmad bin Taimiyah
rahimahulloh bahwa hal itu tidak sinonim dengan meninggalkan dengan
terus-menerus seperti yang dibayangkan sebagian mereka.Beliau berkata :
pengkafiran orang yang meninggalkan shalat adalah pendapat yang masyhur
diriwayatkan dari Jumhur Salaf dari shahabat dan Tabi’in.Titik ikhtilaf adalah
pada seorang yang masih mengakui kewajibannya dan beriltizam melakukannya
tetapi tidak melakukannya[39].
Perhatikanlah
ucapan beliau “beriltizam melakukannya tetapi tidak melakukannya “ menunjukkan
bahwa makna iltizam bukan berarti terus-menerus melakukan, karena dimungkinkan
ada seorang yang masih beriltizam dengannya namun tidak melaksanakannya.Maka
iltizam yang dijadikan dasar atas kekufuran yang meninggalkannya adalah perkara
yang bersifat aqidah hati bukan perbuatan ; karena itulah Ibnu Taimiyah ketika
hendak mengungkapkan iltizam fi’ly beliau mengaitkannya dengan sifat fi’ly
kemudian tidak menjadikannya sebagai yang dengan sendirinya mengkafirkan namun
karena perkara lain yang bersifat akidah , beliau berkata –setelah nukilan di
atas- : “ dan tidak menentang kewajibannya , akan tetapi ia enggan dari
beriltizam dalam melakukannya karena sombong atau hasad atau benci kepada Alloh dan
Rasul-Nya, yang dia berkata : aku mengetahui bahwa Alloh mewajibkannya atas
muslimin, dan rasul benar dalam menyampaikan Al Quran, tetapi ia enggan dari
iltizam atas perbuatan itu karena sombong atau hasad kepada Rasul atau
fanatisme terhadap agamanya, atau benci kepada apa yang dibawa Rasul, maka ini
juga kekufuran secara kesepakatan.Karena sesungguhnya iblis saat meninggalkan
sujud yang diperintahkan padanya tidak menentang kewajiban tersebut, karena
Alloh yang langsung mengatakan di hadapannya, hanya saja ia enggan dan sombong
dan jadilah ia termasuk kaum yang kafir ”.
Maka perhatikanlah
bahwa beliau tidak menjadikan meninggalkan iltizam dengan perbuatan sebagai hal
yang menyebabkan kafir dengan sendirinya, namun karena disertai keyakinan yang
kufur yaitu sombong dan hasad atau benci kepada Alloh dan Rasul-Nya.
Dengan ini menjadi
sangat jelas bahwa meninggalkan iltizam bukan sekedar meninggalkan perbuatan
walaupun terus-menerus, akan tetapi meninggalkan keyakinan, jika ditanyakan :
jadi, apakah makna “ tidak iltizam” ?
Jawab : maknanya adalah
meninggalkan apa yang diperintahkan karena dorongan akidah kufur seperti
enggan/menolak dan sombong demikian...bersamaan ia masih meyakini wajibnya atas
dirinya dan atas muslimin sebagaimana terdapat dalam ucapan Ibnu Taimiyah di
atas –tadi- :akan tetapi ia enggan dari beriltizam atas perbuatan itu karena
sombong atau hasad atau benci kepada Alloh dan Rasul-Nya.Lalu beliau memberikan
contoh iblis dalam hal tidak beriltizam dalam keadaan ia meyakini kewajiban
taat kepada Alloh atas dirinya tetapi meninggalkan karena enggan dan sombong[40].
2.konsekuensi pernyataan
mereka bahwa termasuk hal menyebabkan kekafiran menurut ahlisunnah adalah
terus-menerus di atas maksiat baik meninggalkan kewajiban maupun melakukan
keharaman, darimanakah kaidah ini ? bukankah pernyataan ahlisunnah yang
tertulis dalam kitab-kitab akidah bahwa seorang dari ahli kiblat tidak dapat
dikafirkan karena dosa selama tidak menghalalkannya ?[41], yang menjadi bantahan
bagi khawarij yangmengkafirkan dengan dasar melanggar dosa besar.
3.konsekuensi
pernyataan mereka adalah bahwa orang yang terus menerus melakukan maksiat
dengan melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban adalah kafir.Dan ini
menyelisihi apa yang tsabit dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata : tidak ada
dosa kecil jika terus – menerus dan tidak ada dosa besar jika disertai
istighfar, dikeluarkan Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir dalam tafsir keduanya
terhadap surat Annisa.Masuk dalam ucapan beliau ini meninggalkan apa yang
diperintahkan dan melakukan apa yang dilarang.
4.tidak ada dalil
dari Kitab dan Sunnah dalam mengkafirkan dengan sekedar terus-menerus melakukan
dosa, sedangkan takfir adalah hak Alloh dan Rasul-Nya Shollallohu ‘alaihi Wa
Sallam yang tak boleh dicampuri oleh emosi atau semangat, bahkan dalil-dalil
menunjukkan tidak kafirnya orang yang terus-menerus melakukan dosa ( dibawah
syirik ) seperti hadits bithoqoh ( kartu tauhid ) dan yang lainnya.
Karena itulah kita
harus waspada dari langkah syaithan ini supaya kita tidak terseret
mengikutinya.
T : ada atsar tsabit dari Alqamah dan
Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallohu anhu
tentang risywah, maka beliau menjawab : termasuk assuht ( yang haram ),
ia berkata : mereka berdua bertanya : apakah dalam hukum ? beliau menjawab :
itu adalah kekufuran, lalu beliau membaca firman Alloh ( yang artinya ) : Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 ), dikeluarkan oleh Thabary dalam
tafsirnya.Maka ini meninjukkan pengkafiran dengan sekedar perbuatan menghukumi
dengan selain yang Alloh turunkan.
S :
jika Anda memperhatikan atsar Ibnu Mas’ud ini sebentar saja niscaya Anda akan
mengetahui bahwa itu tidak menunjukkan pada apa yang Anda inginkan dan tidak
dapat dijadikan dasar, karena dua sisi :
1.bahwa mengambil
dzahir ucapan itu memberi konsekuensi kufur akbar bagi orang yang menerima
risywah ( sogokan ) supaya menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan pada
satu masalah.Dzahir seperti ini tidak dikatakan oleh seorangpun, dan tentu saja
bukan maksud dari ijma-ijma yang dinukil di atas dari Ibnu AbdilBarr dan
selainnya yang berisi bahwa ini pendapat khawarij saja.
2.bahwa Ibnu Mas’ud
tidak menjelaskan kekufuran apakah yang dimaksud ; yang akbar atau
ashghar.Adapun atsar Ibnu Abbas maka jelas bahwa maksud beliau adalah kufur
ashghar bukan akbar.Maka tidak benar jika menetapkan khilaf antar shahabat dengan sesuatu yang masih dzan/
persangkaan, karena hukum asalnya mereka tidak berselisih karena khilaf antara
mereka sangatlah sedikit.
T : sesungguhnya Anda – wahai saudaraku –
membawakan ucapan ulama dari shahabat dan yang setelahnya yang menunjukkan ini
adalah kufur ashghar, padahal para ulama tersebut berbicara dalam fakta kasus
yang bukan fakta yang terjadi zaman kita sebab pembabatan syariat islam secara
keseluruhan tidak terjadi selain akhir-akhir ini maka tidak benar membawa
ucapan mereka untuk fakta yang kita hadapi sekarang.Perhatikanlah ini.
S :
jika Anda – wahai saudaraku – tidak berpandangan untuk berdalil dengan ayat itu
dan ucapan salaf dalam masalah yang kita diskusikan karena permasalahan
kontemporer, maka berarti juga tidak boleh Anda berdalil dengan ayat ( yang
artinya ) : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( QS.Al Maidah : 44 )
untuk menetapkan kekafiran orang yang terjatuh dalam masalah berhukum dengan
selain yang Alloh turunkan di zaman-zaman akhir ini, dengan mereka membuat
Undang-undang yang sedang kita bahas, sadarilah.Karena ayat ini dengan
pemahaman shahabat dan tabi’ien sampai dengan ucapan Anda sendiri adalah bagi seorang yang menyelisihi
dalam sebagian kejadian sehingga tidak keluar dari kufur ashghar.
T : Saya mempunyai dalil kedua yaitu firman
Alloh Ta’ala :
﴿ فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴾
Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya ( QS . Annisa : 65 ).
Sisi pendalilannya adalah : bahwa asal dalam penafian di sini adalah penafian
pokok iman, dari sana jadilah hakim yang memutuskan dengan selain yang Alloh
turunkan menjadi kafir kufur akbar hanya
sekedar dengan perbuatannya itu, karena iman telah dinafikan darinya, kecuali
jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dinafikan adalah kamal /
kesempurnaan iman yang wajib seperti ucapan Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam : “ tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai
daripada anak, ayah dan seluruh manusia “ ( mutafaq alaih dari hadits Anas dengan lafadz Imam Muslim ),
dan saya tidak mengetahui dalil yang memalingkan makna ayat ini kepada
kesempurnaan iman yang wajib.
S : Jazakallohu khairan karena anda telah men-ta’shil
dengan sangat baik.Saya memiliki banyak dalil yang menunjukkan bahwa iman yang
dinafikan di sini adalah kesempurnaan iman yang wajib bukan pokok iman, di
antaranya adalah :
1.sebab turun ayat ini adalah apa yang
diriwayatkan Bukhary dan Muslim dari Abdullah bin Zubair bahwa ada seorang dari
Anshar bertikai dengan Zubair di sisi Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tentang Syirajul harrah..., didalamnya diceritakan bahwa orang
Anshar tersebut tidak ridha dengan hukum Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam lalu ia marah sambil berkata ; karena ia anak bibimu..., maka berkata Ibnu
Zubair : Demi Alloh, saya yakin ayat ini turun dalam masalah itu.
Sisi pendalilannya adalah ; bahwa ia
mendapati diri orang Anshar ahli badr itu merasa berat dan tidak menerima
dengan sepenuh hati terhadap hukum Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam, namun ia tidak kafir, dikuatkan ketidakkafirannya karena ia seorang ahli
badr, sedangkan shahabat yang mengikuti perang badar telah diampuni dosa mereka
sebagaimana dalam hadits Aly ra dalam kisah Hatib ketika Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam bersabda : tidak tahukah engkau bahwa Alloh telah
melihat ahli badar lalu berfirman : lakukanlah apa saja yang kalian kehendaki
karena Aku telah mengampuni kalian[42].Sedangkan kufur akbar
tidak akan diampuni.Maka ini menunjukkan bahwa ahli badar terjaga dari menjadi
orang kafir, ditegaskan ini oleh Ibnu Taimiyah[43].Kemudian juga Rasululloh
tidak memerintahkannya kembali berislam.
2. diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari
hadits Abu Said AlKhudry berkata Aly bin Abu Thalib ketika di Yaman pernah
mengirimkan batangan emas yang kemudian dibagi antara empat orang.Lalu ada
seorang laki-laki berkata : wahai Rasululloh, bertaqwalah kepada Alloh, lalu
Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa
Sallam menjawab : bukankah aku penduduk bumi yang
paling berhak untuk ( disebut ) bertakwa kepada Alloh ? maka berkata Khalid bin
Walid ; wahai Rasululloh, izinkan aku memenggal lehernya.Berkata Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam : jangan, siapa tahu ia masih shalat”, berkata Khalid :
betapa banyak orang yang shalat namun berkata dengan lisannya apa yang tidak
ada di hatinya .Maka bersabda Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam : “ sesungguhnya aku
tidak diperintah untuk menyingkap apa yang ada di hati-hati manusia dan tidak
pula diperintah untuk merobek perut-perut mereka “ ( alhadits )
Sisi pendalilannya : bahwa orang ini melawan
hukum Rasululloh Shollallohu
‘alaihi Wa Sallam dan tidak ridha serta menerima, dan ada
keberatan pada jiwanya, akan tetapi Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tidak mengkafirkannya dan melarang membunuhnya dengan alasan kekhawatiran
jika ia masih mengerjakan shalat.Jika apa yang dilakukan adalah perkara kufur
tentu shalatnya tidak bermanfaat baginya, karena syirik dan kufur akbar
membatalkan amalan, yang tak akan bermanfaat shalat bersama keduanya.
Dan juga yang menunjukkan bahwa orang tadi
tidak terjatuh pada perkara kufur di sisi Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam adalah tatkala Khalid hendak mengarahkan pembicaraan tentang kufur yang
tersembunyi di hati, hal ini tidak diridhai oleh Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam.Jika perkataan orang itu adalah kufur tentu Khalid akan
berpegangan dengannya dan tentu Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tidak akan bersabda : “aku tidak diperintah untuk menyingkap apa yang ada
di hati-hati manusia..” , karena ucapan yang dianggap kekufuran ini telah
keluar darinya.Dan termasuk yang menjelaskan bahwa kalimat ini bukan kekufuran
adalah apa yang tsabit dalam Shahihain dari Aisyah bahwa istri-istri Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mendatangi beliau dan menuntut keadilan dalam perkara
anak perpempuan Abu Quhafah, dan ini tidak dianggap kekufuran dari mereka.
3.Diriwayatkan Bukhary dan Muslim dari Anas
bin Malik bahwa ada sekelompok orang dari Anshar yang berkata tatkala Alloh
memberikan Fai’ kepada Rasul-Nya di perang Hunain dari harta Bani Hawazin,
saat Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mulai membagi untuk
beberapa orang dari Quraisy seratus onta, mereka berkata ; Semoga Alloh
mengampuni Rasululloh karena ia telah memberi Quraisy padahal pedang-pedang
kami masih mengucurkan darah mereka ( kafir Quraisy ).Dalam satu riwayat ;
ketika terjadi Fathu Makkah beliau membagi ghanimah untuk Quraisy, maka
berkatalah Anshar : “ sungguh ini sangat aneh karena pedang-pedang kami masih
mengucurkan darah mereka..”.
Sisi pendalilannya : bahwa mereka semua
mengingkari perbuatan Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dan mendapati dalam
diri mereka keberatan namun Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam tidak mengkafirkan
mereka.
Karena itulah Ibnu Taimiyah berkata :
maksudnya di sini adalah apa yang Alloh dan Rasul-Nya nafikan dari penamaan nama perkara yang wajib
seperti iman dan islam, dien, shalat, shiyam, thaharoh dan haji serta selainnya
adalah karena meninggalkan sesuatu yang wajib dari nama itu.Termasuk hal ini
adalah firman Alloh Ta’ala ( yang artinya ) : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya ( QS . Annisa : 65 ). Maka saat dinafikan iman hingga adanya
syarat ini menunjukkan bahwa syarat ini adalah wajib atas manusia, barang siapa
meninggalkannya maka ia termasuk orang yang terancam...[44].
Berkata Ibnu Taimiyah ; barangsiapa tidak
iltizam terhadap berhukum kepada Alloh dan Rasul-Nya pada apa yang mereka
perselisihkan maka Alloh telah bersumpah dengan dirinya bahwa orang tersebut
tidak beriman.Adapun yang masih iltizam kepada hukum Alloh dan Rasul-Nya dhahir
dan batin, tetapi bermaksiat dan mengikuti nafsunya, maka ia berada pada
kedudukan yang sama dengannya dari pelaku kemaksiatan.Dan ayat ini : Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman.., termasuk yang dijadikan
hujjah oleh khawarij untuk mengkafirkan pemerintah yang tidak berhukum dengan
yang Alloh turunkan, kemudian mereka meyakini bahwa akidah mereka adalah hukum
Alloh.Para ulama telah membicarakan ini dengan panjang lebar yang tidak bisa
disebutkan di sini, dan apa yang saya sebutkan tadi ditunjukkan oleh kontek
ayat[45].
T : baik , tinggalkanlah istidlal
dengan dalil ini, karena saya memiliki dalil yang ketiga yaitu firman Alloh
Ta’ala :
﴿ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ
أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا
بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً ﴾
Artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim
kepada thaghut , padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. dan
syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya ( QS.
Annisa : 60 ).
Sisi pendalilannya adalah : bahwa merfeka
menjadi munafik karena ingin mengambil hukum kepada thaghut dan disebut iman
mereka sebagai pengakuan saja.
Berkata Ibnul Jauzi : “ Azza’mu dan azzu’mu
keduanya digunakan dan yang paling sering untuk ucapan yang tidak bisa
dibuktikan kebenarannya”[46].
S : sesungguhnya ayat ini kosong dari kaitan dengan
pengkafiran apa yang terjadi dalam masalah berhukum dengan selain yang Alloh
turunkan, itu karena beberapa sisi :
Sisi yang pertama : ayat ini mengandung dua kemungkinan :
1.iman mereka berubah menjadi pengakuan
karena mereka ingin berhukum kepada thaghut dan ini yang Anda pegangi.
2.bahwa termasuk sifat ahli iman palsu –
munafikin- adalah ingin berhukum kepada thaghut, sedangkan menyerupai munafikin
dalam satu dari sifat mereka tidak memastikan jatuh dalam kekufuran[47].Atas dasar ini kita
katakan bahwa seorang yang ingin berhukum dengan selain yang Alloh turunkan
berarti telah menyerupai munafikin dalam satu sifat dari sifat-sifat mereka dan
ini tidak memastikan jatuh dalam kekufuran kecuali ada dalil lain, seperti yang
menyerupai munafikin dalam dusta tidak menjadi kafir, dari sanalah jika banyak
muncul kemungkinan dalam satu perkara apakah mengkafirkan atau tidak maka tidak
bisa dikafirkan dengan hal itu, karena hukum asal seorang muslim adalah di atas
islam.Intinya , pendalilan Anda dengan dalil ini dalam mengkafirkan adalah
tidak benar karena termasuk dalil yang mengandung banyak kemungkinan.
Sisi kedua : bahwa mereka menghendaki berhukum kepada thaghut dan ini bukanlah
kehendak yang mutlak melainkan kehendak yang menafikan kufur kepada thaghut
dengan kufur i’tiqady.dan siapa saja yang tidak meyakini kewajiban kufur kepada
thaghut maka tidak ragu lain bahwa ia terjatuh dalam kekufuran akbar.Alloh
berfirman :
﴿ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى ﴾
Artinya : Barangsiapa yang ingkar kepada
thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus.( QS. Al Baqoroh : 156 )
Berkata Ibnu Jarir ; “ mereka ingin berhukum
dalam perselisihan mereka kepada thaghut yakni mereka mengagungkannya dan
mngikuti ucapannya serta meridhai hukumnya selain hukum Alloh, padahal mereka
diperintah untuk mengkufurinya.Ia berfirman bahwa mereka telah diperintah untuk
mendustakan apa yang dibawa oleh thaghut yang mereka berhukum padanya sehingga
mereka meninggalkan perintah Alloh dan mengikuti perintah syaithan[48].
Jika Anda tidak menerima ini dan tetap
memaknainya dengan mutlak keinginan maka
dikatakan sesungguhnya irodah / keinginan di sini masih mengandung kemungkinan
maksud seperti apa yang Anda pahami atau yang saya pahami, dan telah saya
sebutkan bahwa pengkafiran tidak bisa dilakukan pada perkarta yang masih
mengandung kemungkinan- seperti telah lalu penjelasannya-.
T : ada dalil yang
keempat yaitu firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ ﴾
Artinya : dan jika kamu menuruti mereka,
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik ( QS.Al An’am : 121
).
Sisi pendalilannya adalah : bahwa ketaatan
kepada selain Alloh dalam hukum buatan adalah syirik.
S : Ada apa denganmu – Ya akhy – apakah Anda lupa ? bukankah telah
dijelaskan bahwa ayat ini kembali pada masalah penghalalan dan pengharaman.Dan
janganlah lupa lagi lalu Anda berdalil dengan firman Alloh ( yang artinya ) :
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ( QS. Syuraa : 21 ).Telah kita
bicarakan dan bahwa maksudnya adalah seorang yang mengumpulkan antara pembuatan
syariat atau aturan dan menganggap bahwa aturan itu termasuk agama yang
bermuara kepada penghalalan dan pengharaman, inilah yang disebut tabdil.
T : dalil yang kelima firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً ﴾
Artinya : dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi
sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan ( QS. Al Kahfi : 26 )
S : tunggu sebentar - ya akhy –
apakah mereka yang menghukumi dengan selain yang Alloh turunkan mengatakan
bahwa ini adalah hukum Alloh sehingga mereka menjadi sekutu bagi Alloh dalam
menetapkan hukum-Nya Subhanahu Wa Ta’ala ? jika mereka demikian maka tidak ragu
bahwa mereka kafir, namun jika tidak demikian maka tidak benar berdalil dengan
ayat ini.Perhatikanlah !
Berkata Syaikh Abdurrahman Assa’dy : “ini mencakup hukum kauny
qodary ( alam ) dan hukum syar’iy dieny ( agama ).Maka Alloh adalah
yang memutuskan pada makhluk-Nya qadha , qadar, penciptaan dan pengaturan
mereka dan yang memutuskan pada mereka dalam perintah dan larangan, pahala dan
hukuman...[49].
Hukum Alloh yang kauny pasti terjadi apakah Alloh
mencintai atau tidak mencintainya seperti iradah kauniyah. Dan ini tanpa ragu
lagi tidak ada seorang pun yang mampu menyaingi Alloh.Dan barang siapa meyakini
bahwa ada seorang yang menyaingi Alloh dalam hal ini maka telah terjatuh dalam
syirik akbar karena telah menyamakan selain Alloh dengan Alloh dalam perkara
yang khusus bagi Alloh, dan ini merupakan syirik dalam rububiyah.
Adapun hukum
syar’iy maka jika yang dimaksud adalah penghalalan dan pengharaman maka
tidak ragu bahwa ini kufur sebagaimana telah lalu, namun jika yang dimaksud
adalah menyelisihi perintah Alloh namun masih mengakui kesalahan maka ini tidak
ragu pula kita katakan bukan kufur sebagaimana dosa-dosa yang lain.Karena jika
tidak demikian , berarti kita sama dengan khawarij yang mngkafirkan dengan
dasar dosa besar.Karena inilah – wahai temanku –tidak benar kalau Anda berdalil
dengan ayat ini .
T : dalil keenam : firman Alloh Ta’ala :
﴿ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا
إِيَّاهُ ﴾
Artinya : keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia
telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. ( QS.Yusuf : 40 )
Sisi pendalilannya adalah : bahwa mereka yang membuat
undang-undang telah menandingi Alloh dalam perkara khusus bagi-Nya Subhanahu
sehingga termasuk syirik akbar.
S : pembahasan mengenai dalil ini adalah sama dengan bahasan dalil
sebelumnya.Sebab hukum di sini mencakup hukum kauny qadary dan hukum syar’iy
dieny.Berkata Ibnu Taimiyah : “ terkadang berkumpul antara dua hukum – yaitu
kauny dan syar’iy – seperti pada firman-Nya Ta’ala (yang artinya ) : keputusan
itu hanyalah kepunyaan Allah. ( QS.Yusuf : 40 )”[50].
Berkata Syatiby : “ dan mungkin tersembunyi dalam bab ini
madzhab khawarij yang berpendapat bahwa tidak boleh membuat hukum sama sekali
dengan berdalil firman-Nya Ta’ala (yang artinya ) : keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah. ( QS.Yusuf : 40 ) karena datang dalam bentuk lafadz umum yang
tidak dapat dikhususkan, karena itulah mereka berpaling dari firman-Nya Ta’ala
( yang artinya ) : maka kirimlah seorang hakam ( pemutus hukum ) dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. ( QS.Annisa : 35 ) , dan
dari firman Alloh ( yang artinya ) : menurut putusan hukum dua orang yang adil
di antara kamu ( QS. Al Maidah : 95 ).Kalau
saja mereka mengetahui kaidah bahasa arab bahwa lafadz umum terkadang ditujukan
untuk khusus, tentu mereka tidak akan tergesa-gesa mengingkari dan tentu akan
mngatakan kepada diri sendiri : mungkin lafadz umum ini dikhususkan sehingga
mereka mentakwil..[51].
T : Dalil yang ketujuh firman-Nya Ta’ala :
﴿ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِنْ دُونِ
اللَّهِ ﴾
Artinya :31. mereka menjadikan orang-orang alimnya dan
rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah ( QS.Taubah : 31 )
Sisi pendalilannya : bahwa ahli kitab ketika mereka
mentaati ulama dan ahli ibadah mereka, Alloh mensifati mereka dengan menjadikan
mereka sebagai Tuhan selain Allah .
S : Ketaatan kepada mereka tidak keluar dari dua keadaan :
Yang pertama : mentaati mereka dalam
bermaksiat kepada Alloh tanpa penghalalan dan pengharaman, maka ini tentu bukan
kekufuran, sebab akan berkonsekuensi pengkafiran kepada seluruh pelaku dosa dan
maksiat karena mereka mentaati hawa nafsu dalam bermaksiat kepada Alloh
Subhanahu Wa Ta’ala.
Yang kedua : mentaati mereka dalam
penghalalan dan pengharaman, dan ini tidak diragukan sebagai kufur yang
mengeluarkan dari agama sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pemetaan
masalah ( tahrir mahallin niza’ )[52].
T : Dalil kedelapan firman Alloh Ta’ala :
﴿ وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ﴾
Artinya : tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka
putusannya (terserah) kepada Allah. ( QS .Syuraa : 10 ).
Sisi pendalilannya : bahwa mereka telah merujuk hukum
selain Alloh Subhanahu Wa Ta’ala sehingga menyelisihi apa yang diperintahkan
Alloh Jalla Wa ‘Ala.
S : Saya tidak berselisih dengan Anda walau seujung jari bahwa mereka para
penguasa yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan berdosa dan terjatuh
dalam dosa yang sangat besar, dan bahwa mereka termasuk penyebab kekalahan dan
kelemahan umat kita, akan tetapi saya tidak bisa mengkafirkan mereka kecuali
dengan dalil ; karena takfir adalah hak Alloh Subhanahu – seperti yang telah
ditetapkan -, maksimal yang ditunjukkan dalil ini adalah bahwa mereka wajib
kembali kepada Kitabulloh dan Sunnah Rasul-Nya Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam, tidak ada pengkafiran pemerintah secara mutlak saat meninggalkannya dalam
ayat ini.
T : Jangan Anda kira – Ya akhy – bahwa diskusi
kita telah selesai, saya masih memiliki dalil yang banyak dari sunnah dan ijma
dan akal.
Dalil ketujuh : sebab turunnya ayat ( yang artinya ) : Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu..( QS. Annisa : 60 ) , berkata Sya’by : dahulu
terjadi pertikaian antar seorang munafik dan seorang yahudi.Maka berkata yahudi
itu : mari kita berhukum kepada Muhammad – Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam – sebab dia mengetahui bahwa beliau tidak menerima risywah sedang orang
munafik berkata ; mari kita berhukum kepada yahudi karena ia tahu bahwa mereka mau
mengambil risywah.Lalu mereka sepakat mendatangi dukun di Juhainah lalu
keduanya berhukum kepadanya, maka turunlah ayat ( yang artinya ) : Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ?..( QS.
Annisa : 60 )[53]
.
S : Atsar ini tidak benar jika dijadikan dalil baik dari sisi sanad maupun
matan.Mungkin saya hanya akan menyebutkan kedhaifan sanadnya.Ini jelas karena
Sya’by adalah seorang dari tabi’ien, sehingga atsar ini munqathi’ (
terputus ) yang masuk dalam jenis dhaif .
T : ada sebab nuzul yang lain yaitu bahwa ada
dua orang bertikai, maka seorang dari mereka berkata ; mari kita bawa masalah
ini kepada Nabi Shollallohu
‘alaihi Wa Sallam dan yang lain berkata kepada Ka’ab bin
Asyraf, akhirnya mereka datang kepada Umar bin Khatab, maka salah satu dari
mereka mengkisahkan kepada Umar, lalu Umar berkata kepada yang tidak ridha
kepada Rasululloh Shollallohu
‘alaihi Wa Sallam : apakah benar begitu ? ia menjawab : ya ,
lalu Umar memenggal kepalanya dengan pedang dan membunuhnya “.
S : atsar ini juga tidak shahih bahkan lebih dhaif dari yang sebelumnya,
karena diriwayatkan dari jalan Al Kalby dari Abu Shalih Badzam dari Ibnu Abbas[54], sanad ini mengandung
perawi kadzab ( pendusta ), matruk ( ditinggalkan ), dan inqitha’
( terputus ).
T : masih ada sebab nuzul lain[55] dari Ibnu Abbas berkata
dahulu Abu Burdah Al Aslamy adalah seorang dukun yang memutuskan perkara bagi
yahudi dalam pertikaian antara mereka.Lalu ada sekelompok orang dari muslimin
yang bertikai dan mendatanginya, maka Alloh Ta’ala turunkan ayat ( yang artinya
) : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman ..( QS. Annisa : 60 ).
Al Haitsamy berkata : rijal atsar ini adalah perawi kitab
shahih[56].
Al Hafidz berkata : sanadnya jayyid[57].
Syaikh Muqbil Al Wadi’iy[58] berkata : saya tidak
mendapati biografi guru Thabrany, tetapi ia memiliki mutaba’ah Ibrahim bin Said
Al Jauhary menurut Al Wahidy .
Dengan ini jelaslah keshahihan sanadnya, apakah jawaban
Anda ?
S : Saya menerima keshahihan atsar ini tetapi saya tidak menerima
kandungannya dalam pembahasan kita karena sebagai berikut :
1.bahwa mereka yang mendatangi Abu Burdah adalah
munafikun sebagaimana ditunjukkan oleh konteks ayat, jadi ayat ini menunjukkan
satu sifat dari sifat-sifat mereka, bukan berhukumnya mereka yang menjadi sebab
dikatakan “yang mengaku dirinya telah beriman “, tetapi mereka telah
mengaku-ngaku beriman sebelum kejadian tahakum ini.Atas dasar ini maka
siapa yang menyerupai munafikin dalam satu sifat tidak langsung menjadi munafik
kecuali jika ditetapkan bahwa sifat ini menyebabkan kekafiran dengan dalil
lain.Manakah dalil lain itu ?
2.bahwa kelompok yang ingin bertahakum kepada selain yang
Alloh turunkan dan keinginan mereka bukanlah iradah mutlak namun iradah yang
menafikan kufur dengan thaghut, padahal kufur kepada thaghut adalah satu rukun
iman, dan tidak diragukan bahwa siapa yang tidak memandang wajibnya kufur
dengan thaghut maka dia kafir – sebagaimana telah lalu-.
3.bahwa pendalilan Anda dengan atsar ini membawa
konsekuensi yang Anda sendiri tidak berpendapat dengannya yaitu Anda harus
mengkafirkan seorang yang tidak memutuskan dengan apa yang Alloh turunkan
walaupun dalam satu kasus tertentu.
T : dalil kesepuluh : apa yang diriwayatkan
Imam Lima dan selainnya dari Bara bin Azib dengan lafadz Abu Dawud dan Nasa’iy
berkata : aku berjumpa dengan ‘ammy
(paman dari ayah ) ku ketika ia sedang membawa panji perang, maka aku
bertanya : hendak kemanakah engkau ? Ia menjawab : Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam mengutusku untuk membunuh dan mengambil harta seorang
yang menikahi istri ayahnya ( ibu tiri ), dalam riwayat Tirmidzy, Ibnu Majah
dan Nasa’iy disebutkan “ khal “ ( paman dari ibu ).Dikeluarkan juga oleh Nasa’iy dan
Thahawy dari hadits Muawiyah bin Qurrah dari ayahnya dengan lafadz “
Ashfy maalahu “.
Maka dalam hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa orang itu dibunuh sebagai orang kafir karena
dirampas hartanya, ini sekedar dengan sebab perbuatan yang ia lakukan,
bagaimana lagi jika dibandingkan orang yang berhukum dengan selain yang Alloh
turunkan, dan membuka mahkamah serta mewajibkan manusia untuk merujuk kepadanya
?atau yang membuka tempat riba dan melindunginya ? demikian...
S : hadits ini dari riwayat Muawiyah bin Qurrah dari ayahnya dari kakeknya,
shahih.Dishahihkan oleh Imam Yahya bin Ma’in[59]- cukuplah satu imam
ini-.Akan tetapi untuk menetapkan kebenaran suatu klaim tidaklah cukup dengan
menetapkan shahih sanad namun juga harus shahih dilalah ( benar
penunjukkannya ).Klaim yang Anda sebutkan – ya akhy – tidak ditunjukkan oleh
hadits ini samasekali, karena hadits ini berkaitan dengan dengan orang yang
menghalalkan keharaman.Karena orang yang menikahi istri ayahnya ini telah
mnghalalkan farjinya dengan akad nikah, sungguh sangat berbeda antara berzina
dengan istri ayah dengan menikahinya.Sebab menzinahinya adalah haram namun
bukan kufur, adapun menikahinya maka jelas itu kufur dari sisi menghalalkan
farji yang haram ; karena makna nikah adalah menjadikan farji menjadi halal,
berbeda dari zina.
Abu Ja’far Athahawy berkata : yaitu bahwa orang yang
menikahi itu, melakukannya dengan istihlal, sebagaimana mereka biasa
melakukannya di zaman jahiliyah, sehingga ia menjadi murtad, sehingga Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam memerintahkan supaya ia diperlakukan sebagaimana seorang
yang murtad[60].
T : Dalil kesebelas yaitu
Ijma ulama atas kafirnya pemerintah yang berhukum dengan selain yang Alloh
turunkan dan menjadikannya undang-undang.
Ijma ini disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Katsier, beliau
berkata : dan dalam itu semua terdapat penyelisihan terhadap syariat Alloh yang
diturunkan kepada hamba-Nya para nabi ‘alaihimusholatu wasalam, maka
barangsiapa meninggalkan syariat yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad
bin Abdullah penutup para nabi dan berhukum kepada selainnya dari syariat yang
telah dimansukh maka ia telah kafir, maka bagaimana lagi dengan orang yang
berhukum kepada Al Yasiq dan mengutamakannya di atas syariat ? barangsiapa
melakukan itu maka ia telah kafir dengan ijma kaum muslimin[61].
S : sesungguhnya pengetahuan kita tentang Tatar dan fakta Al Yasiq akan
sangat membantu untuk memahami Ijma yang disebutkan ini.Karena mereka ( Tatar )
terjatuh dalam tabdil yang merupakan penghalalan dan pengharaman.
Berkata Ibnu Taimiyah :
sesungguhnya mereka menjadikan agama islam sama seperti agama yahudi dan
nashrani, bahwa ini semua adalah jalan menuju Alloh seperti madzhab arba’ah
pada kaum muslimin, kemudian di antara mereka ada yang memilih agama yahudi
atau agama nashrani dan di antara mereka ada yang memilih agama kaum muslimin[62].
Dan Ibnu Taimiyah juga memaparkan bagaimana mereka
mengagungkan Jengis Khan dan menyamakannya dengan Rasululloh Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam - lalu beliau berkata - : “ dan telah diketahui dari
agama islam dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa barangsiapa
membolehkan mengikuti selain agama islam maka dia kafir dan seperti kafirnya
orang yang beriman dengan sebagian kitab dan kafir dengan sebagian yang lain.
Dan termasuk yang menjelaskan bahwa Ijma yang dikisahkan
Ibnu Katsier ini kembali kepada masalah penghalalan dan pengharaman adalah apa
yang dikatakan oleh Ibnu Katsier sendiri : “ Alloh Ta’ala mengingkari orang
yang keluar dari hukum Alloh yang mengandung seluruh kebaikan, yang melarang
dari seluruh keburukan, lalu berpaling kepada selainnya dari pendapat dan hawa
nafsu dan istilah yang dibuat oleh manusia tanpa sandaran dari syariat Alloh
sebagaimana yang dilakukan ahli jahiliyah yang berhukumkepada kesesatan dan
kejahilan yang dibuat dengan fikiran dan hawa nafsu mereka dan sebagaimana
Tatar berhukum kepada Siyasah Mulkiyah yang diambil dari raja mereka Jengis
Khan yang menetapkan bagi mereka Al Yasiq yaitu sebuah kitab yang dikumpulkan
di dalamnya hukum-hukum yang diambil dari berbagai syariat yang bermacam-macam
dari ajaran yahudi dan nashrani dan agama islam dan selainnya dan banyak di
dalamnya hukum yang dibuat berdasar hanya kepada pendapat dan hawa nafsunya
kemudian menjadi syariat yang diikuti dan diutamakan dalam hukum.Maka
barangsiapa yang melakukan itu dari mereka maka dia kafir wajib diperangi
sampai ia kembali kepada hukum Alloh dan Rasul-Nya, sehinngga tidak berhukum
kepada selainnya dalam hal yang sedikit mau pun banyak[63].
Berkata Ahmad bin Aly Al Fazary Al Qalqasyandy : kemudian
jadilah dasar beragama Jengis Khan dan diikuti oleh keturunannya adalah metode
Ilyasa yang ditetapkannya, yaitu undnag-undang yang dikumpulkan oleh akalnya
dan ditetapkan oleh fikirannya, ia mengatur hukum-hukum dan menetapkan batasan,
mungkin sedikit darinya mencocoki Syariat Muhammadiyah ( islam ), dan
kebanyakannya menyelisihinya dan disebut Al Yasa Al Kubra...”[64].
Dalam perkataan Ibnu Katsier dan gurunya Abul Abbas Ibnu
Taimiyah dan selainnya, jelas bahwa ijma yang dikisahkan adalah pada orang yang
terjatuh dalam penghalalan dan
pengharaman, yaitu menghalalkan berhukum kepada selain hukum Alloh karena
mereka menjadikan Al Yasiq seperti agama islam yang dapat menyampaikan kepada
Alloh.Sedangkan permasalahan yang sedang kita diskusikan adalah tentang seorang
yang berhukum dengan selain yang Alloh turunkan namun masih merasa bermaksiat
bukan pada orang yang mengatakan bahwa itu boleh tidak mengapa dilakukan atau
itu adalah jalan untuk mendapatkan keridhoan Alloh.
Lalu perhatikanlah – ya akhy –ucapan Ibnu Katsier : “
bagaimana lagi dengan yang berhukum kepada Al Yasiq dan mengutamakannya di atas
syariat ?”.jadi, mereka mengumulkan dua hal , yaitu berhukum dengan Al Yasiq
dan taqdiem ( mengutamakannya ) di atas syariat Alloh, mak dosa mereka bukan
hanya tahkim ( berhukum ) saja yang sekedar perbuatan, namun disertai i’tiqad (
keyakinan ) yaitu taqdim ( mengutamakan ).
T : Saya teringat satu dalil lagi dari
Kitabullah yaitu firman Alloh Ta’ala :
﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ
حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾
Artinya : Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki ?, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. Maidah ; 50 )
S : penisbatan sesuatu kepada jahiliyah dan pensifatan dengannya tidak selalu
menunjukkak kufur.Maka hal ini juga tidak menunjukkan kufur kecuali dengan
dalil lain yang menunjukkan kekufuran.Hal ini dijelaskan oleh sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam kepada Abu Dzar : “ sesungguhnya engakau seorang yang
masih memiliki jahiliyah “ ( muttafaq alaih ).
Dan sabda beliau Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dalam hadits Abu Malik
Al Asy’ary riwayat Muslim : “ empat hal pada umatku dari perkara jahiliyah
yangmereka tidak meninggalkannya...”.
Berkata Abdul Qasim bin Sallam : “ tidakkah kau mendengar
firman Alloh ( yang artinya ) : Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki ? (QS.
Maidah ; 50 ) tafsirnya menurut ahli tafsir adalah bahwa siapa yang berhukum
dengan selain yang Alloh turunkan sedang dia berada di atas agama islam maka
dia dengan hukum itu seperti ahli jahiliyah, karena demikianlah dahulu ahli
jahiliyah berbuat”[65].
T : saya dapat menerima apa yang Anda sebutkan,
tetapi secara akal, seorang yang telah membabat / mengeyahkan syariat dan
berhukum dengan hukum eropa, tidakkah ia menjadi kafir karena terjatuh dalam
kufur i’radh ( berpaling ), dan perbuatannya ini menunjukkan bahwa ia
telah menghalalkan ( istihlal ) ? jika tidak begitu, mengapa dia
meninggalkan hukum Rabbul arbaab ?
S : Jadi Anda ingin mengkafirkan muslim ini dari sisi perbuatannya yang
merupakan kufur i’radh.Saya berharap sebelum Anda mensifati perbuatannya
sebagai kufur i’radh, Anda berkonsentrasi pada dhabith ( kaidah ) kufur
i’radh yang merupakan berpaling secara total dari pokok agama atau meninggalkan
jinsul amal ( seluruh amal )[66].
Atas dasar memahami kaidah ini kita dapat menyimpulkan
bahwa seorang yang meninggalkan berhukum
dengan apa yang Alloh turunkan tidak terjatuh dalam kufur i’radh karena ia
tidak meninggalkan jinsul amal.Adapun pernyataan Anda bahwa seorang yang
meninggalkan berhukum dengan yang Alloh turunkan pasti menghalalkan maka ini
adalah tidak benar, walaupun memang ada kemungkinan demikian.Sebab yakin bahwa
orang tersebut beragama islam tidak
dapat digugurkan oleh kemungkinan/ keraguan.Karena seorang yang telah masuk
islam dengan yakin tidak dapat dikeluarkan darinya kecuali dengan yakin
pula.Dimanakah sandaran yang meyakinkan itu ? dan ini juga membuka pintu
pengkafiran pelaku maksiat, setiap orang yang menganggap besar satu maksiat
akan dengan mudah menghukumi pelaku maksiat itu bahwa dia telah kafir, karena
dianggap telah menghalalkan maksiat itu, sebab melakukan maksiat ini juga hal
besar yang tidak akan dilakukan kecuali oleh seorang yang menghalalkannya.
T : tidakkah Anda mengetahui bahwa para
shahabat Rasululloh Shollallohu
‘alaihi Wa Sallam mengkafirkan kaum arab yang menahan zakat
setelah wafatnya Rasululloh Shollallohu
‘alaihi Wa Sallam dan menganggap mereka sebagai murtaddun.Hal
ini karena mereka satu kelompok yang bersepakat menahan dari satu syariat agama
ini.Maka yang seperti ini juga vonis bagi setiap pemerintah yang meninggalkan
berhukum dengan syariat Alloh Subhanahu.
S : Para ulama berikhtilaf tentang mereka, apakah mereka kafir atau tidak ?
Ada dua pendapat yang keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad- rahimahulloh-,
walaupun saya sependapat dengan Anda bahwa mereka kafir.Ini adalah pendapat
yang dirajihkan Ibnu Taimiyah, namun mereka kafir bukan karena mereka satu kaum
/ kelompok. Karena memerangi satu kaum juga dilakukan terhadap khawarij, namun
mereka tidak kafir dengan kesepakatan shahabat, bahkan orang-orang terbaik umat
ini pernah terjatuh pada fitnah pertumpahan darah namun mereka tidak
kafir.Alloh berfirman :
﴿ وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا ﴾
Artinya : dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! ( QS .Hujurat : 9 ),
Alloh menetapkan iman bagi mereka semua sekaligus adanya
peperangan.
Kekufuran mereka juga bukan karena sekedar meninggalkan
karena Rasululloh Shollallohu
‘alaihi Wa Sallam tidak mengkafirkan Abu Jamil yang tidak mau
membayar zakat karena bakhil.Kekufuran mereka adalah karena tidak mau iltizam
dengan hukum ini yang sebabnya adalah tidak mengakui kewajibannya.Karena
mustahil seorang yang masih mengakui kewajiban satu hukum lalu bersikeras
meninggalkannya walaupun diancam bunuh.Maka orang yang seperti ini tidak lain
karena tidak meyakini kewajibannya – sebagaimana akan datang dari ucapan Ibnu
Taimiyah.Maka terjadinya pembunuhan ini adalah dalil bahwa tidak mengakui hukum
ini bukan karena ia adalah sebab dalam mengkafirkannya.Perhatikan ini .
Perhatikan pula bahwa ini adalah kaidah yang tetap dalam
setiap hukum syar’iy.Berkata Ibnu Taimiyah : tidak tergambar secara kewajaran
jika ada seorang yang beriman dengan hatinya, mengakui bahwa Alloh mewajibkan
shalat atasnya, iltizam dengan syariat Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam dan apa yang beliau bawa, lalu ia diperintah ulil amri untuk shalat tapi
ia menolak sampai dibunuh, tidak mungkin ia beriman di bathinnya sama sekali.Pasti
batinnya kafir, walaupun ia berkata saya mengakui kewajibannya namun saya tidak
akan melakukannya, ucapan ini dengan keadaan demikian adalah kedustaan[67].
Beliau berkata - rahimahulloh - : jika dia mengakui shalat
dalam bathin, meyakini kewajibannya tidak mungkin akan bersikeras
meninggalkannya walaupun hingga dibunuh, yang seperti ini tidak dikenal di
antara anak Adam dan kebiasaannya.Karenanya,
yang seperti ini tidak pernah terjadi dalam islam sama sekali, dan tidak
pernah dikenal bahwa pernah ada seorang yang meyakini kewajiban shalat kemudian
dikatakan padanya : jika engkau tidak shalat maka kami akan membunuhmu, namun
ia tetap bersikeras untuk meninggalkan shalat dengan mengakui kewajibannya,
yang seperti ini tidak pernah terjadi dalam islam samasekali.Ketika seorang
menolak untuk shalat hingga dibunuh, tentulah ia seorang yang dalam bathinnya
tidak mengakui kewajiban shalat dan tidak beriltizam melakukan shalat, yang
seperti ini kafir dengan kesepakatan kaum muslimin[68].
Apabila telah jelas bahwa ancaman bunuh terhadap seorang
yang terus meninggalkan taat namun ia tetap bersikeras seperti itu maka ini
adalah dalil atau bukti bahwa ia tidak mengakui kewajibannya.Maka dapat
dikatakan jika ada seorang yang diperangi karena meninggalkan ketaatan yang ia
tidak mau melaksanakannya tetapi bukan karena ketaatan itu sendiri melainkan
karena takut pada pihak yang lebih kuat maka yang ini tidak kafir, sebab
memeranginya di sini bukan dalil bahwa ia tidak mengakui kewajibannya, ia tetap
mengakui tetapi ia takut dari pihak lain yang lebih kuat darinya.Kasus kedua
ini berbeda dari yang pertama yaitu yang meninggalkan ketaatan bukan karena ada
sebab lain, sebab yang ini kafir, karena itu adalah dalil ia tidak
mengakuinya.Perincian ini juga berlaku dalam masalah meninggalkan berhukum
dengan yang Alloh turunkan hingga diperangi.Mereka terbagi menjadi dua jenis :
Pertama : meninggalkan hukum
syariah dengan terus-menerus walaupun diperangi supaya berhukum dengan yang
Alloh turunkan maka dia kafir – tidak ada kemuliaan –karena sudah ada dalil
bahwa ia tidak meyakini kewajibannya.
Kedua : meninggalkan berhukum
dengan yang Alloh turunkan karena takut dari pihak lain, sebab walaupun ia
penguasa namun masih berada di bawah kekuasaan pihak lain yang lebih kuat maka
yang seperti ini walaupun diperangi tetapi tidak menunjukkan ia tidak mengakui
kewajiban.Wallohu a’lam.
T : Tetapi – ya akhi – saya mendengar dari
banyak orang, bahkan saya membaca sendiri tulisan semacam yang disusun Safar
Hawaly dalam kitabnya Dhahiratul Irja, bahwa barangsiapa yang mengatakan
bahwa berhukum dengan selain yang Alloh turunkan adalah kufur ashghar maka dia
adalah seorang murjiah.
S : Sesungguhnya menggelari dan memberi sifat buruk kepada orang lain dengan
sifat ahli bid’ah adalah mudah, siapa saja bisa melakukannya.Yang sulit adalah
membuktikan tuduhan dengan dalil.Sebab , bagaimana dikatakan demikian, bukankah
yang menafsirkan ayat dengan kufur ashghar adalah Ibnu Abbas dan murid-murid
beliau serta para imam ahlis sunnah seperti Imam Ahmad dan yang lainnya ?
Dan akan menambah keyakinanmu tentang salahnya tuduhan
itu adalah bahwa dua imam dari ulama ahli sunnah zaman ini berpendapat dengan
pendapat ini, seperti telah kita nukilkan[69]
T : Jazakallohu khairan, kebenaran telah jelas
bagiku dan saya rujuk dari pendapat saya yang lalu.Karena Alloh berfirman :
﴿ وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ﴾
Artinya : dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka.( QS. Al ahzab : 36 ).
Dengan dialog yang saya ketengahkan ini yang berisi
penjelasan hukum masalah ini dengan dalil yang shahih baik tsubut maupun
dilalahnya, saya memohon kepada Alloh agar Dia memberi hidayah kepada
pemerintah kaum muslimin agar kembali
kepada syariat islam yang suci dan sempurna, karena disanalah kejayaan
baik di dunia maupun di akhirat.
﴿ وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً
غَدَقاً ﴾
Artinya : dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus
di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada
mereka air yang segar (rezki yang banyak) ( QS. Jin : 16 ).
[1]
.penterjemah pernah sangat tertarik
mencermati dinamika pemikiran takfiry di Indonesia dengan berdiskusi dan duduk
di majelis Ustadz Aman Abdurrahman sekitar tahun 2003-2004, semoga Alloh melindungi
seluruh kaum muslimin dari syubhat yang disebarkannya dan menunjuki beliau agar
kembali kepada akidah dan manhaj Ahli Sunnah Wal Jamaah.Amin.
[2] .yang kami maksud teroris adalah
kaum yang mengkafirkan pemerintah kaum muslimin yang tidak berhukum dengan
syariah secara mutlak tanpa tafsil dan memerangi mereka.Adapun yang
mempertahankan negeri kaum muslimin dari invasi kaum kafir maka mereka adalah
mujahid.Mujahid bukan teroris dan teroris bukan mujahid.
[3] .Lajnah Daimah Lilbuhuts Al Ilmiyah
wal Ifta, anggota : Abdullah bin Ghudyan, wakil ketua lajnah : Abdurrozaq
Afify, ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.Sebagai tambahan lihat Majmu
Fatawa wa Maqolat Ibnu Baz ( 3/990-992), dan yang dinukil Majalah Al Furqon
dari Syaikh Bin Baz No.( 82,94).
[4]
.Qadhiyatu takfier bayna ahli sunnah
wa firoq dholaal hal. 72-73.
[5]
.Addurar Assaniyah ( 1/102 ).
[6]
.Majmu Fatawa ( 18/170 )
[7]
.disebutkan faidah ini oleh
ibnulqayim dalam madarijusalikin ( 1/367 )
[8]
.periksa Madarijusalikin ( 1/366),
Nawaqidhul islam Al I’tiqadiyah ( 2/60 ).
[9]
.Majmu Fatawa ( 3/267 ).
[10]
.Asharim AlMaslul ( 2/971 ).
[11]
.Minhajussunnah ( 5/130 ).
[12] .Alfishal ( 3/204 ).
[13] .Rasa’il wa Masa’il Najdiyah ( 3/46
), juga ditafsirkan serupa dengan ini oleh ibnu katsier dalam tafsirnya ( 3/329
).
[14] .Tafsir ( 7/198 ).
[15] .Tafsir ( 25/14 ).
[16] .Sebagaimana yang dilakukan Ibnu
Taimiyah di berbagai temapat, di antaranya awal-awal kitab al Al Istiqomah (
1/5 ) dan Al Iqtidha ( 2/582 ).
[17]
.lihat Al iqtidha ( 1/211 ) dan Syarh Umdah bagian
shalat ( 82 )
[18] .lihat Majmu Fatawa ( 7/ 668
),Rasa’il Wa Masa’il Najdiyah ( 3/7 ), Syarh Umdah Ibnu Taimiyah bagian shalat
( hal.82 ).
[19] .Berkata Ibnu hazm dalam AlFishal (
3/234 ) : sesungguhnya Alloh Azza Wa Jalla berfirman ( yang artinya ) :
barangsiapa tidak menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan maka mereka itu
adalah orang-orang kafir (QS.5:44), barangsiapa tidak menghukumi dengan apa
yang Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang dzalim (QS.5:45) , barangsiapa
tidak menghukumi dengan apa yang Alloh turunkan maka mereka itu adalah
orang-orang fasiq (QS.5:47) , maka mu’tazilah harus mengkafirkan setiap pelaku
maksiat dan pelaku kedzaliman serta pelaku kemaksiatan karena setiap pelaku
kemaksiatan berarti tidak berhukum / memutuskan dengan apa yang Alloh turunkan.
[20] .banyak dari ulama terbiasa
menggunakan kata عاقل ( yang berakal/cerdas ) sebagai ganti عالم
( yang berilmu ),tetapi
sesungguhnya ‘alim lebih tepat, sebab من ( siapa saja ) juga kadang
ditujukan kepada Alloh, sedangkan Alloh disifati dengan ilmu bukan dengan akal.Berkata
Al Khottoby dalam kitab Sya’nu Du’a hal.113 : diantara nama-Nya adalam Al Alim
dengan sifat ilmu, maka tidak boleh diqiyaskan dengannyalalu Alloh dinamakan
dengan kata عارف/arif karena mengandung sifat
makrifat yang menjadi wasilah kepada ilmu, dan juga tidak disifati Al Aqil.
[21]
.Tamhid ( 16/17 ).
[22]
.Tamhid ( 5/74-75 )
[23]
.Tafsir Al Manar ( 6/406 )
[24]
.Asyari’ah hal 27.
[25]
. Ahkamul Quran ( 2/534 )
[26]
. Al Bahrul Muhith ( 3/493 ).
[27]
.Ta’dziem Qodr ashalat No.573.
[28]
.No.569.
[29]
.Tafsir ( 1/186 ) No.713.
[30]
.Kitab Ta’dziem Qadr Shalat No.574.
[31]
.lihat Al Iman , Abu Ubaid Al Qasim
bin Salam.
[32] .Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahulloh dalam mengomentari ucapan syaikh Albany : Al Albany berhujjah
dengan atsar dari Ibnu Abbas ra. ini, dan demikian juga selain beliau dari para
ulama yang lain telah menerima atsar ini karena kandungannya yang sesuai dengan
banyak dalil.Telah bersabda Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam :”mencerca
muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran”, walau pun demikian
, memerangi muslim bukanlah mengeluarkan dari agama karena firman Alloh ( yang
artinya ) :. dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya..) sampai pada firman-Nya ( yang
artinya ) :10. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara ).Tetapi karena
ini tidak dikehendaki mereka yang terkena syubhat takfir, maka mereka
mengatakan : atsar ini tidak diterima, tidak shahih dari Ibnu Abbas.Dikatakan
kepada mereka : bagaimana tidak shahih ?
sedangkan atsar ini telah diterima oleh orang-orang yang lebih besar dan afdhol
daripada kalian dan lebih berilmu tentang hadits, namun kalian berkata ; tidak
diterima ?!.
Cukup bagi kita bahwa para ulama
seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
Ibnul Qayyim dan selainnya mereka telah menerima atsar ini, bersandar padanya
dan menukilkannya.Maka atsar ini shahih, taruhlah bahwa seperti yang kalian
katakan yaitu atsar ini tidak shahih dari Ibnu Abbas, kita masih memiliki
dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa kata kufur terkadang disebutkan tetapi
yang dimaksud bukan kufur yang mngeluarkan dari agama sebagaimana ayat
tersebut, seperti dalam sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi Wa Sallam ; dua hal
kekufuran yang ada pada manusia ;: mencela nasab dan meratapi mayat.Kufur ini
tidak mengeluarkan dari agama.namun seperti yang dikatakan Syaikh Albany
–waffaqohulloh-,di awal perkataannya: sedikitnya modal dalam ilmu, dan
sedikitnya pemahaman kaidah umum syariah yang menyebabkan kesesatan ini, dan
satu lain kami tambahkan yaitu buruknya keinginan yang membawa kepada keburukan
pemahaman ; karena seorang jika menghendaki sesuatu akan berpindah pemahamannya
kepada apa yang diinginkan tersebut kemudian menyimpangkan dalil.termasuk
kaidah yang dikenal di sisi para ulama adalah ; ambilllah dalil lalu yakinilah,
jangan engkau meyakini lalu mengambil dalil sehingga engkau sesat.Intinya,
sebab hal ini ada tiga :
Pertama : sedikit modal dalam ilmu syar’iy
Kedua : sedikit pemahaman dalam kaidah
umum syariah
Ketiga :buruknya pemahaman karena
keinginan yang buruk.
Lihat ta’liq Syaikh Ibnu Utsaimin atas
kitab “ Fitnah Takfir “ Syaikh Albany hal.24-25.
[33] .beliau berkata : adapun pendapat
yang shahih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu pembedaan antara alkufru
yang makrifat dengan alif lam dengan kufrun yang nakirah.Adapun shifat maka
maka boleh dikatakan : mereka kafirun atau mereka alkafirun.berdasar apa yang
menjadi sifatnya yaitu kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama.Maka ada
perbedaan antara disifatkan dengan fi’il dengan disifatkan dengan fa’il (
Fatawa Al A’immah fy Nawazil Al Mudlahimah hal.227 ).
[34]
.Majmu Fatawa ( 7/312 ), lihat
Fathul Bary Ibnu Rajab ( 1/126 ).
[35]
.Ahkamul Quran ( 2/624 )
[36]
.Tafsir ( 6/191 )
[37]
.( 3/268 ).
[38]
. Majmu Fatawa ( 3/267 ), lihat juga
( 7/70-71 )
[39]
.Al Fatawa ( 20/97 ).
[40] .jika Anda telah memahami makna
iltizam dengan penjelasan ini, maka Anda akan memahami makna ucapan Imam Sufyan
bin Uyainah sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Ahmad rahimahulloh dalam
kitabnya Assunnah ( 348 ) ia berkata : hadatsana Suwaid bin Said berkata ; kami
bertanya kepada Sufyan bin Uyainah tentang irja ( murjiah ), maka beliau
berkata : mereka mengatakan iman adalah ucapan, sedang kita mengatakan iman
adalah ucapan dan perbuatan.Murjiah mewajibkan surga bagi siapa yang telah
bersyahadat La ilaha illalloh walau pun terus-menerus meninggalkan
kewajiban-kewajiban, mereka menyebut meninggalkan kewajiban sebagai dosa
seperti melakukan keharaman, padahal tidaklah sama karena melakukan keharaman
tanpa istihlal adalah maksiat sedangkan meninggalkan kewajiban dengan sengaja
tanpa kejahilan dan udzur adalah kekufuran.Penjelasannya ada pada perkara Adam
sholawatulloh alaihi dan iblis dan ulama Yahudi, adapun Adam maka Alloh Azza Wa
Jalla telah melarangnya dari memakan buah pohon itu dan mengharamkannya lalu ia
memakannya dengan sengaja supaya menjadi malaikat atau orang yang kekal, maka
ia disebut pelaku maksiat bukan kekufuran.Adapun iblis laknatulloh maka ia
diwajibkan oleh Alloh untuk sujud sekali lalu ia menentangnya dengan sengaja
maka ia disebut kafir.Adapun ulama yahudi maka mereka mengetahui sifat Nabi Shollallohu
‘alaihi Wa Sallam dan bahwa beliau memang nabi dan rasul seperti mereka
mengenal anak mereka sendiri, mereka juga mengakuinya dengan lisan namun tidak
mengikuti syariat beliau, maka Alloh Azza Wa Jalla namakan mereka sebagi
orang-orang kafir.
Maka melakukan keharaman adalah maksiat
seperti dosa Adam alaihi salam dan selainnya dari para nabi lainnya, adapun
meninggalkan kewajiban dengan penentangan maka ia adalah kufur seperti kufurnya
iblis laknatulloh, sedangkan meninggalkan di atas ilmu tanpa penentangan maka
itu kufur seperti kufurnya ulama yahudi.
[41] .jadi, makna juhud/ penentangan
dalam ucapan beliau adalah tidak iltizam yaitu meninggalkan perintah karena
dorongan kekufuran seperti enggan atau sombong, yang lebih menguatkan itu
adalah kekufuran iblis sebagaimana yang Alloh ceritakan dalam kitab-Nya, dan
penggunaan kata juhud oleh para ulama dengan makna seperti ini adalah ma’ruf (
sudah dikenal luas ).Berkata Ibnu Taimiyah ( 20/98 ) : “ dan dari kalangan
fuqoha yang menyebutkan bahwa tidaklah kafir kecuali yang menentang
kewajibannya, sehingga penentangan mencakup takdzib / pendustaan terhadap
kewajiban dan mencakup imtina’/ keengganan dari mengakui dan iltizam
sebagaimana firman Alloh Ta’ala ( yang artinya ) : sesungguhnya mereka tidak
mendustakanmu akan tetapi orang-orang yang dzalim itu menentang ayat-ayat Alloh
( QS.An’am : 33 ), dan firman-Nya ( yang artinya ) : dan mereka mengingkarinya
karena kezaliman dan kesombongan (mereka) ,padahal hati mereka meyakini
(kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat
kerusakan.(QS.Naml : 27 ).Jika tidak demikian, maka kapan seorang tidak
mengakui dan beriltizam maka dibunuh dan dikafirkan dengan kesepakatan”.
Atsar Imam Sufyan bin Uyainah walaupun
dalam sanadnya ada kedhaifan namun maknanya dipastikan shahih, jika tidak maka
tidak akan dinukil oleh para imam Sunnah dalam kitab-kitab akidah tanpa
pengingkaran.
[42] .diriwayatkan oleh yang imam yang
enam kecuali Ibnu Majah.Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al Minhaj ( 4/331 ): kisah
ini termasuk yang disepakati oleh ahli ilmu tentang keshahihannya, mereka
melihatnya sebagai mutawatir, terkenal di kalangan ulama tafsir dan ulama
hadits, ulama maghazy dan sirah dan ahli tarikh, ulama fikih dan selain mereka.
[43]
.Majmu Fatawa ( 7/490 ).
[44]
.Majmu Fatawa ( 7/37 ), lihat ( 22/
530 )dan Qowaid Nuraniyah hal.61.
[45]
.Al Minhaj ( 5/131 ).
[46]
.Zadul Masir ( 2/120 )
[48]
.( 5/96 )
[49]
.Taisir Karimir Rahman.
[50]
.Majmu Fatawa ( 2/413 )
[51]
.Al I’tisham ( 1/303 )
[52]
.ini adalah ringkasan apa yang
disebutkan Abul Abbas Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa ( 7/70 ).
[53]
.dikeluarkan oleh Thabary ( 5/97 ).
[54]
.sebagaimana dita’liq oleh al wahidy
dalam Asbabun Nuzul hal. 107-108, dan Al Baghawy dalam Ma’alimut Tanzil ( 2/242
).
[55]
.diriwayatkan Thabrany dalam Mu’jam
Kabir ( 5/124 ), dan Al Wahidy dalam Asbabun Nuzul hal. 106-107.
[56]
.Majmauz Zawaid ( 7/6 ).
[57]
.Al Ishobah ( 7/18 ).
[58]
.setelah beliau membawakannya dalam Shahih
Asbabun Nuzul hal.69.
[59] .Zadul Ma’ad ( 5/15 ), Imam Ahmad
berdalil dengan hadits ini sebagaimana dinukilkan Ibnul Qayyim dalam Raudhatul
Muhibbin ( 1/374 ), dan dishahihkan Ibnul Qayyim dalam Al I’lam ( 2/346 ).
[60]
.Syarh Ma’anyl Atsar ( 3/149 )
[61]
.Al Bidayah Wan Nihayah ( 13/128 )
[62]
.Majmu Fatawa ( 28/523 ).lihat yang
lebih jelas tentang keadaan Tatar ( 28/520-527 ).
[63] .Tafsir ( 3/131 )
[64] .Al Khuthoth ( 4/310-311
).Qalqasyandy adalah seorang tokoh abad delapan.perhatikan –wahai pembaca –
bagaimana menyebut bahwa itu agama mereka, adapun yang demikian maka bukan
problem diskusi ini karena seperti ini adalah kufur dengan ijma yaitu tabdil.
[65] .Al Iman hal.45.
[66] .lihat Tis’iniyah Ibnu Taimiyah (
2/674 ) dan Madarijus Salikin ( 1/366 ) dan Minhaj Ahlil Haq Ibnu Sahman
hal.64-65.Meninggalkan jinsul amal sebagai kekufuran telah disebutkan ijma oleh
lima ulama, dan Kitab dan sunnah juga menunjukkan itu, kelima ulama tersebut
adalah : Al Ajurry dalam Syariah ( 2/611 ), Al Humaidy dan Syafi’iy seperti
yang dinukil Ibnu Taimiyah dalam Fatawa ( 7/209 ), Abu Ubaid Al Qasim bin Salam
dalam kitab al Iman hal. 18-19, dan Ibnu Taimiyah sendiri dalam Majmu Fatawa (
14/120 ).lihat buku saya Al Imam Albany Wa Mawqifuhu alal irja.
Faidah : Ibnu Taimiyah telah menegaskan istilah
jinsul amal dalam Majmu Fatawa ( 7/616 ).
[67]
.Majmu Fatawa ( 7/615 ).
[68]
Majmu Fatawa ( 22/48 ), lihat
Kitabus Shalat Ibnul Qayyim hal. 63 .
[69] .sebelum pengiriman kitab ini ke
percetakan – setelah edit akhir -, saya mendapat buku “Alhukmu bi ghoyri ma anzalalloh
“ tulisan saudara kami Syaikh Bundar bin Nayif Al Utaiby – waffaqohulloh-,
saya melihat mukadimah ditulis oleh Syaikh Al Allamah Muhammad bin Hasan Alu
Syaikh - waffaqohulloh- ( seorang anggota Lajnah Fatwa Saudi dan anggota kibar
ulama ) yang beliau mengatakan : “penulis telah memberi faidah dan baik dengan
menjelaskan sikap ahlusunnah wal jamaah terhadap pemerintah yang tidak berhukum
dengan yang Alloh turunkan dengan disertakan dalil-dalil syar’iy dari Kitab dan
Sunnah dan ucapan serta fatwa para ulama muktabar dari ulama umat ini”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar